Tangerang, KOMPAS.com – Memperhatikan lantai pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2019 di ICE, BSD, Tangerang, selama lima hari (18-21 Juli 2019), terasa industri ini mulai bergeser.
Entah karena asosiasi mendorong agar tiap merek menunjukkan teknologi elektrifikasi atau memang sudah ngebet untuk menawarkan model baru. Namun, keniscayaan elektrifikasi di Indonesia pelan-pelan mulai muncul.
Dari beberapa merek peserta pameran, sebut saja Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, DFSK, sampai BMW menampilkan beragam mobil elektrifikasi. Idiom ini tercipta dari kendaraan bermotor penumpang yang memanfaatkan teknologi listrik, baik sebagai penopang, penunjang, sampai penggerak utama.
Sederhananya, semua mobil elektrifikasi menggunakan baterai untuk menggerakkan motor elektrik, entah sebagai sistem penggerak utama atau penunjang mesin konvensional.
Ada yang menawarkan teknologi hybrid, plug-in hybrid vehicle (PHEV), sampai full electric (Battery electric vehicle/BEV). Semua merek dan model penggagas, beberapa bahkan mulai dijual bebas ke pasar Tanah Air. Menarik, karena merek-merek asing ini memasarkan mobil elektrifikasi tanpa landasan regulasi yang tercipta dari penguasa.
“Tanpa regulasi yang jelas, kami industri sulit menentukan bussiness plan. Elektrifikasi sangat tergantung dari regulasi pemerintah,” kata Bob Azam, Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, di Tangerang, Senin (22/7/2019).
Tanpa Dukungan
Para pelaku industri sadar, era mobil elektrifikasi sulit bergerak jika tanpa ada dukungan dari pemerintah. Ini bicara soal harga jual. Teknologi yang mahal berbanding lurus dengan banderol mobil yang tinggi juga, berimbas ke minat konsumen. Padahal hasil yang ditawarkan jelas, mulai dari konsumsi BBM yang lebih irit 50 persen sampai bebas isi bensin (BEV).
Memang jika berkaca ke negara lain, pemerintahnya mendukung penuh pergerakan elektrifikasi dengan ragam insentif khusus. “Norwegia jadi negara yang paling maju perkembangan mobil elektrifikasi, hingga 50 persen terhadap total populasi mobil baru. China juga menawarkan insentif langsung, nilainya mencapai 10.000 dollar AS per unit mobil listrik,” kata Bob.
Naoya Nakamura, Presiden Direktur PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia (MMKSI), mengaku sangat menantikan kemunculan regulasi soal elektrifikasi dari pemerintah. Meskipun belum tersedia, Mitsubishi tetap nekat memasarkan Outlander PHEV di Indonesia.
Mobil elektrifikasi yang masih menggunakan mesin bensin 2.400 cc, namun juga berfungsi sebagai generator yang menyalurkan tenaga listrik ke baterai. Baterai kemudian menyalurkan energinya ke empat motor elektrik di masing-masing roda, sehingga sport utility vehicle (SUV) ini masuk kategori berpenggerak empat roda (4-wheel drive/4WD), dengan beban Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang tinggi.
Tetapi, untuk mencapai kecepatan tinggi, Outlander PHEV ini tetap bisa memanfaatkan tenaga dari mesin bensin konvensional dipadu motor elektrik. Juga, bisa berkendara tanpa bantuan mesin sama sekali, hanya asupan tenaga dari baterai. Jadi, memang canggih. Tapi, sekali lagi, mahal!
“Memang secara global arah pengembangan industri ke sana (elektrifikasi). Kami mulai dengan Outlander PHEV dan masih butuh dukungan pemerintah,” kata Nakamura.
Mitsubishi menjual Outlander PHEV dengan harga Rp 1,289 miliar sudah termasuk pajak. Entah ada atau tidak konsumen yang mau membeli mobil Jepang ini, karena meskipun canggih, setara dengan harga mobil premium Eropa. Biar bagaimanapun, merek masih jadi landasan mutlak konsumen Indonesia menentukan pembelian produk, termasuk mobil.
BEV Pertama
Beralih ke mobil elektrifikasi selanjutnya, ada BMW i3s. Mobil ini sejatinya adalah mobil listrik murni (BEV) pertama yang dipasarkan resmi oleh agen tunggal pemegang merek (ATPM) di Indonesia. BMW Indonesia juga boleh dibilang kesusu mau jualan i3s ke pasar Tanah Air.
Sekali lagi, regulasinya belum ada di Indonesia.
Memang mobil listrik tenar asal Amerika Serikat (AS) seperti Tesla sudah dipasarkan di Indonesia, sejak 2018 lalu, tetapi bukan oleh cabang resmi perusahaan. Hanya para pebisnis importir umum yang mencoba menangkap kesempatan setelah membahananya nama Telsa di industri otomotif dunia, termasuk ketika sempat trending di media sosial saat Justin Bieber mengemudikannya.
BMW i3s dibekali motor elektrik bertenaga 184 tk dengan torsi 270 Nm. Ketika baterai tersisi penuh, mobil sub-kompak tipe B (hatchback) ini, diklaim mampu menjelajah hingga 260 kilometer. Tapi, dengan segala perbedaan demografi pengemudi, termasuk geografi lokasi berkendara, jarak ini bisa berkurang atau malah lebih jauh.
Harganya, mahal juga!
BMW menjualnya Rp 1,299 miliar belum termasuk bayar pajak alias off the road Jakarta. Perbedaannya, BMW adalah merek mobil premium, jadi konsumennya lebih “mampu” ketimbang Mitsubishi. Meskipun harga mirip-mirip, sama-sama tembus Rp 1 miliar, keduanya masuk ke segmen kendaraan yang sama sekali bertolak belakang. Outlander PHEV adalah SUV 4WD, sementara i3s hanya hatchback dengan bodi yang kompak.
MPV Hybrid
PT Toyota Astra Motor (TAM) merayakan satu dekade (10 tahun) kehadiran teknologi hybrid di Indonesia. Waktu itu, di 2009, Presiden Direktur perusahaan Johnny Darmawan terlihat optimistis meluncurkan Prius gen-III ke Indonesia. Sedan keluarga yang setara dengan Corolla Altis bermesin 1.8 liter (Rp 400 jutaan) kala itu. Tapi, karena Prius dibekali motor elektrik tambahan, maka biaya pajak jadi dobel, mengerek harga jadi lebih mahal hingga 60-an persen (Rp 600 jutaan).
Lakukah Prius di Indonesia? Tidak!
Meskipun lagi-lagi yang ditawarkan Prius kala itu konsumsi bahan bakar yang super irit dibandingkan mobil sekelasnya. Selain itu, mobil hybrid terlaris Toyota ini juga lagi tenar di AS. Hampir semua selebriti Hollywood mengendarainya demi pamor artis yang peduli pada lingkungan.
Sekarang, 10 tahun kemudian, TAM merayakannya di GIIAS 2019. Toyota juga punya lebih banyak mobil hybrid yang dipasarkan, mulai Camry, Alphard, sampai C-HR yang masuk ke beragam segmentasi produk. Namun, produk-produk ini juga masih tergolong mahal, menyasar segmen niche alias tipis.
Pada GIIAS 2019, giliran Daihatsu yang unjuk kebolehan, meluncurkan konsep kendaraan multi guna (multi purpose vehicle/MPV) hybrid pertama di Indonesia. Bahkan, konsep ini juga berstatus yang pertama di dunia (world premiere), bernama Hyfun.
President of Daihatsu Motor Company (anak perusahaan Toyota Motor Corporation/TMC) Soichiro Okudaira, mengatakan, konsep Hyfun dikembangkan menggunakan platform baru, yakni Daihatsu New Global Architecture (DNGA). Platform yang nantinya akan digunakan untuk pengembangan model-model baru Daihatsu di masa depan.
"DNGA mulai kita gunakan dan salah satunya sudah terapkan pada Tanto dan mobil konsep hybrid yang saat ini kita perkenalkan di Indonesia. Ke depan kami akan terus memberikan produk-produk terbaik," ucap Okudaira di ICE, BSD, Kamis (18/7/2019)
Strategi yang coba disiapkan Daihatsu untuk Indonesia ini memang masuk akal. Dengan latar belakang pasar mobil yang didominasi oleh MPV, Daihatsu mencoba menterjemahkannya lewat konsep MPV hybrid Hyfun. Terjemahan sederhananya, menciptakan Avanza-Xenia tapi dengan teknologi hybrid.
Toyota juga sudah mengumumkan akan masuk ke segmen mobil elektrifikasi mulai 2022 mendatang. Jangan kaget kalau nanti model produksi MPV hybrid yang dipasarkan mengacu pada konsep Hyfun yang bisa disaksikan langsung di GIIAS 2019.
Mengapa hybrid?
Toyota percaya kalau teknologi hybrid merupakan jawaban paling tepat untuk kondisi Indonesia saat ini. Indonesia lagi butuh obat mujarab untuk mengurangi defisit anggaran berjalan yang dipicu oleh impor bahan bakar minyak (BBM). Meski bukan yang paling irit, tapi hybrid menawarkan kepraktisan ketimbang teknologi lain, seperti PHEV atau BEV.
Faktor lain yang utama mengapa Toyota memilih hybrid, adalah sudah menguasai teknologi ini sejak era 1990-an. Juga, mobil hybrid tidak butuh baterai berkapasitas besar yang jelimet, tapi bisa mengurangi konsumsi BBM sampai 50 persen. Hybrid juga memungkinkan teknologi jadul, mesin pembakaran dalam (internal combustion engine/ICE) tetap digunakan.
Biar bagaimanapun, industri otomotif itu dasarnya bisnis. Jadi, kalau tidak menguntungkan tidak bakal jalan! Apalagi kalau sudah investasi triliunan rupiah buat mesin lantas ditinggal begitu saja beralih ke motor elektrik (BEV), tentu menjadi kerugian besar buat perusahaan.
Selain itu, mobil elektrifikasi itu sangat bergantung pada penggunaan baterai. Baterai yang lebih besar selaras dengan banderol mobil yang lebih mahal. Baterai lithium yang diandalkan mobil-mobil elektrifikasi bakal menjadi komoditas baru di pasar perdagangan internasional.
Alasan ini juga yang membuat pemerintah Indonesia begitu gencar mendorong pembangunan smelter Nikel dan Kobalt di Morowali, Sulawesi Tengah. Kedua komoditas ini adalah bahan baku utama untuk memproduksi baterai. Jadi, mulai terasa benang merahnya kan?
Jangan lupa juga, boleh dibilang Daihatsu memang jadi kuncian Toyota di Indonesia. Jago memproduksi mobil-mobil murah, digemari konsumen Indonesia, sudah gitu bisa dijual juga pake emblem Toyota. Jadi cuan yang masuk bisa lebih banyak lagi. Mau bukti?
Avanza-Xenia, Rush-Terios, Agya-Ayla, dan Calya-Sigra. Semuanya produk buatan Daihatsu dan laris dijual Toyota. Sebegitu sakti kempuan strategi pemasaran Toyota di Indonesia, membuat mobil-mobil buatan Daihatsu lebih mahal, prestisius di mata konsumen. Bahkan, mampu menjadi penopang utama penjualan Toyota di Indonesia.
Era Elektrifikasi Dimulai
Tiga produk mobil elektrifikasi ini menjadi bukti kalau era industri otomotif di Indonesia mulai bergeser. Mitsubishi dengan Outlander PHEV, BMW i3s, dan konsep MPV hybrid Daihatsu Hyfun.
Suka atau tidak, siap atau enggak, era elektrifikasi sudah dimulai pelaku industri otomotif di Indonesia. GIIAS 2019 jadi lokasi terwujudnya pergeseran ini.
Lantas, bagaimana nasib para merek-merek otomotif lokal yang sempat mendengungkan hanya lewat mobil listrik (BEV), Indonesia bisa bersaing dengan prinsipal asing? Bangkai mobil sport listrik Tuxuci besutan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, saat ini masih teronggok di Museum Angkut, Malang, Jawa Timur, seolah jadi saksi bisu.
Jangan lupakan peribahasa klasik, “Ibarat tikus yang mati di lumbung padi.” Semoga era elektrifikasi ini berpengaruh positif terhadap industri otomotif di Indonesia, bukan cuma buat merek asing, tetapi juga akan lahir primadona-primadona lokal yang cemerlang. Semoga!
https://otomotif.kompas.com/read/2019/07/24/070200815/keniscayaan-era-elektrifikasi-di-indonesia