Apabila kalah cepat dengan Malaysia atau Singapora, yang memang sudah berhasil jadi host, atau mungkin dengan Thailand kok rasanya masih lebih bisa diterima dibanding kalau kalah dengan Vietnam.
Menurut saya, wajar saja pemikiran tersebut muncul, saya pun termasuk yang agak iri dengan situasi ini.
Gelaran tersebut sangat didukung pemerintahnya di bawah Perdana Menteri Mahatir dengan menyediakan sirkuit modern yang berdekatan dengan pusat pemerintahan Putra Jaya dan Kuala Lumpur International Airport.
Langkah-langkah penunjang seperti membuat kesepakatan dengan pemilik tim Sauber, Peter Sauber, melibatkan state oil company Petronas, yang tentunya bertujuan untuk menempatkan negara Malaysia menjadi lebih “dilihat dunia”.
Grand Prix F1 Singapore yang dimulai musim 2008 mempunyai cerita berbeda. Kali ini peran pengusaha properti lokal kelahiran Sabah Malaysia, Ong Beng Seng, lebih dominan.
Pemerintah Singapura sangat mendukung langkah yang dilakukan Ong Beng Seng dengan menyediakan jalan raya di Marina Bay sebagai lokasi balapan serta mengukir sejarah sebagai lokasi balap malam F1 pertama kalinya.
Sebuah langkah brilian mengingat Singapura tidak memiliki lahan yang luas dan saat itu pemerintah ingin peran sektor pariwisata lebih ditingkatkan untuk menjadikan Singapura tetap menarik di kawasan Asia Tenggara.
Malaysia dan Singapura telah mendapatkan apa yang mereka inginkan di mata dunia dan kedua seri grand prix tersebut lahir di bawah Formula One Management (FOM) milik Bernie Ecclestone. Lantas bagaimana dengan Vietnam sebagai penyelenggara baru pertama ditunjuk sejak F1 diambil alih Liberty Media?
Rp 608 miliar
Ada sedikit kemiripan dengan cara F1 Singapore, bedanya ada penyesuaian secara stategis yang lebih memudahkan dan mempercepat proses.
Kali ini VinGroup, sebuah perusahaan yang dimiliki konglomerat Vietnam, Pham Nhat Vuong, menjadi pihak yang paling berperan dalam negosiasi dan terpilihnya Vietnam untuk menyelenggarakan F1.
Dimulai musim balap 2020 sampai delapan musim ke depan dengan opsi perpanjangan, dengan mengucurkan modal awal 1 triliun dong atau sekitar Rp 608 miliar.
Kendati memiliki area yang sangat luas untuk membangun sebuah sirkuit modern baru, mereka lebih memilih opsi untuk membuat balapan di sirkuit jalan raya dan juga malam hari, sama seperti di Singapura.
Dari sisi penyelenggara lokal tentu biaya membuat sirkuit serta pemeliharaannya akan lebih mahal dibandingkan dengan membuat sirkuit jalan raya sebagai arena balap.
Balapan malam hari pasti bukan pilihan penyelenggara lokal karena biaya pasti lebih tinggi, itu lebih karena alasan kenyamanan penonton di Eropa dan Amerika berkaitan dengan jam tayang siaran langsung.
Menurut gosip yang berkembang, mereka diberikan waktu penyelenggaraan awal April, dibuat tidak terlalu dekat dengan GP Singapore (September). Alasannya, penerangan di sirkuit pada malam hari yang digelar di Vietnam dilakukan dengan menyewa dari penyelenggara GP Singapore dan perlu 1-2 bulan persiapan.
Indonesia
Peran pemerintah untuk membangun sepertinya lebih tidak masuk akal dengan situasi seperti sekarang ini. Peran pengusaha hotel, restoran, transportasi dan lainnya dirasa cukup bisa mendukung penyelenggaraan event kelas dunia.Tinggal sekarang siapa penguasaha atau konsorsium di Indonesia yang mau dan mampu untuk menjadi pionir seperti peran Ong Beng Seng dan Pham Nhat Vuong.
Untung Rp 280 miliar
Sepertinya saya masih harus bermimpi ada grand stand dan start finish area di depan lapangan IRTI. Tikungan 1 hairpin di dekat gambir, kemudian melewati depan kantor Gubernur DKI belok kiri di jalan Sabang dan berkelak-kelok menuju bundaran HI, lalu kembali menuju area Monas dengan berbelok di depan patung Arjuna Wiwaha.
Sebuah sirkuit jalan raya dengan latar belakang Monumen Nasional dengan sinar lampu yang sangat indah.
https://otomotif.kompas.com/read/2019/01/25/100956915/f1-mengapa-kita-kalah-dari-vietnam