Jakarta, KOMPAS.com – Tingginya mobilitas masyarakat modern, membuat jalan-jalan raya disibukkan dengan lalu-lalang kendaraan bermotor. Jika begitu, harapan selanjutnya hanya bergantung pada mental masyarat dan petugas, untuk menjauhkan kesemrawutan serta pelanggaran.
Perilaku berkendara sendiri, tak salah jika disebut sebagai cerminan budaya bangsa, dan nilai keberhasilan suatu negara dalam membangun peradaban masyarakatnya. Tentu tidak sedikit instrumen yang diperlukan untuk membangun keteraturan di jalan, yang salah satunya adalah penegakkan hukum.
Direktur Keamanan dan Keselamatan (DirKamsel) Korlantas Polri Brigjen Pol Chryshnanda Dwilaksana menyebutkan, kalau banyak kalangan yang menyebut tertib bagi pengguna jalan adalah dengan penegakkan hukum, dan hukuman berat akan menjadikan jera.
“Namun, apakah benar yang demikian itu? Bisa saja benar bisa saja salah. Tentu saja orang akan patuh karena takut. Salahnya, apakah peradaban dibangun dengan ketakutan?,” ujar Chryshnanda kepada Kompas.com, Sabtu (3/3/2018).
Chryshnanda menambahkan, penegak hukum sering kali mengutamakan dan memfokuskan pada ancaman hukuman, seperti kontroversi penjabaran pasal 106 UU Nomor 22 tahun 2009 tentang LLAJ, yang diviralkan menjadi suatu isu yang seolah menakutkan. Berbagai kalangan meminta klarifikasi, terkait pelarangan merokok dan mendengarkan musik saat berkendara.
“Penjabaran dan pemaknaan atas mengganggu konsentrasi dijabarkan dengan analogi-analogi yang menjadi kebiasaan para pengemudi. Terjadilah kontroversi dan mempertanyakan mengapa begini dan mengapa begitu dan seterusnya” ujar Chryshnanda.
“Memahami makna dan penegakkan hukum seringkali hanya sebatas menghafal ayat dan pasal. Model penghafalan identik dengan cara belajar binatang sirkus, kritik keras yang membangun atas pendidikan,” kata Chryshnanda.
Peradaban dan Ketakutan
Chryshnanda menuturkan, kalau hukum itu adalah ikon peradaban yang merupakan kesepakatan mengatur tatanan kehidupan sosial, demi memberikan perlindungan, pengayoman, pelayan dan pencerdasan kehidupan bangsa.
Tatkala hanya dihafal adakah yang bisa diterapkan dan melihat kemanfaatannya? Sulit benar sepertinya membangun peradaban. Ketakutan memang menjadi suatu pilihan dalam membangun peradaban bangsa ini.
“Beberapa saran kemudian terontar, tatkala penegakkan hukum baik semua baik. Oke bisa saja setuju. Namun, penegakkan hukum di bidang lalu lintas tidak hanya sebatas menyalahkan atau mencari kesalahan,” ujar Chryshnanda.
Dirinya kemudian menjabarkan enam poin tujuan penegakkan hukum di jalan.
1. Mencegah kecelakaan lalu lintas yang bermakna juga meningkatkan kualitas keselamatan dan menurunkan tingkat fatalitas korban kecelakaan.
2. Mencegah terjadinya kemacetan, demi mewujudkan keteraturan dalam berlalulintas yang aman, selamat tertib dan lancar.
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan keamanan atau keselamatan, bagi pengguna jalan lainya, sehingga tetap terjaga tingkat produktifitas masyarakat.
4. Membangun budaya tertib dalam berlalulintas, karena lalu lintas merupakan cermin budaya bangsa.
5. Menegakkan hukum merupakan bagian edukasi untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Supaya ada kepastian di sisi inilah, menunjukkan bahwa peradaban dibangun dalam menyelesaikan konflik berlalu lintas, ada tatanan atau cara untuk mengatasinya. Ini menunjukkan para penegak hukum selain menegakkan hukum juga menegakkan keadilan. Hukum sebagai ikon peradaban untuk membuat semakin manusiawinya manusia,” tutur Chryshnanda.
https://otomotif.kompas.com/read/2018/03/07/132200815/penegakan-hukum-lalu-lintas-bangun-peradaban-di-jalan