KOMPAS.com - Meriam besar dengan laras lebih kurang sepanjang mobil SUV terlihat punya mulut yang rusak. Usianya sudah setara tujuh puluh tahun lebih sejak ditaruh oleh tentara Jepang pada tahun 1940-an kala menghadapi tentara Sekutu.
Mulut yang rusak sendiri rupanya disengaja sebagai pertanda akhir pasukan mereka berada di sana, seusai Hiroshima dan Nagasaki dibom Sekutu.
Pemandangan ini yang diperoleh tim Terios 7-Wonders saat mobil-mobil mereka bergerak dari Lolobata lalu sampai di Desa Hatetabako, Wasile, Maluku, Selasa (18/7/2017).
Letaknya di pesisir dan posisinya tersebar dari yang paling dekat dengan bibir pantai hingga ke dalam, sejauh sekitar 500 meter, sebagai pusat perlindungan diri para tentara Jepang pada masa tersebut.
"Kondisinya masih asli, cuma yang di dekat pinggir pantai ada yang kena abrasi. Ada yang rusak tidak utuh lagi. Kemasukan pasir. Kalau yang 100 meter ke arah daratan masih bisa kelihatan tempat buat persembunyiannya," ujar Kelong Totomo, orang asli Wasile yang menjadi pemandu tim Terios 7-Wonders.
Untuk sampai ke tempat ini, tim pun bergerak dengan SUV mereka pada pukul 05.00 dari penginapan di Desa Subaim.
"Jalan Subaim ke Hatetabako memang langsung ke bibir pantai, tetapi sudah mengeras dan rusak. Jalannya menyempit karena mungkin memang jarang dikunjungi, kecuali pas Tahun Baru, Lebaran," ujar Toni selaku pilot tim Terios 7-Wonders.
Jalur mengeras dan rusak tersebut antara lain berupa aspal yang terkelupas dan banyak lubangnya. Meski demikian, Terios melaju stabil, memanfaatkan suspensi independen di dua roda depan yang masing-masing menggunakan strut McPherson dengan per keong dan sudah pakai stabilizer, sementara belakang model lima titik axe rigid juga dengan per keong karena menopang barang dan penumpang.
Rumah tanpa paku
Selepas mengamati langsung kepingan sejarah perang Dunia II, tim tancap gas menuju Jailolo tanpa istirahat dengan waktu perjalanan 5-6 jam.
Setibanya di sana, tim disambut tarian dabi-dabi juga anak-anak sekolah SD dan SMP setempat di Desa Gamtala, tempat sebuah rumah kayu tua yang dibangun tanpa menggunakan paku.
Rumah itu bernama Rumah Adat Sasadu. Jika ditarik secara fungsi, maka rumah dengan enam pintu ini ibarat banjar atau tempat bagi siapa pun untuk berkumpul.
Pengikat bagian bangunan sendiri tidak menggunakan paku, tetapi pasak-pasak yang terbuat dari kayu.
"Rumah Sasadu ini sebagai simbol toleransi tinggi. Semua bisa pakai rumah, siapa pun, dari segala suku dan agama," ujar Thomas Salasa, ketua adat setempat.
Rumah besar yang terlihat terbuka dan lowong ini sendiri memiliki enam pintu masuk dan meja-meja untuk duduk. Dua pintu ditujukan bagi perempuan, dua pintu bagi laki-laki, dan dua pintu untuk tamu.
Di sana ada meja-meja yang disediakan untuk laki-laki dan perempuan. Meja perempuan ada di depan, sementara untuk laki-laki ada di belakang, menunjukkan simbol menghargai perempuan.
"Minimal (rumah adat) dipakai dua kali dalam setahun, seperti ketika panen, atau juga ketika kawinan adat, atau acara-acara khusus," ujar Thomas Salasa.
Perjalanan masyarakat budaya ini melengkapi petualangan tim selama empat hari kemarin dari Ternate hingga sebagian Halmahera. Tim pun pada Rabu (19/7/2017) ini melanjutkan petualangannya sejauh lebih kurang 170 kilometer ke Tobelo di bagian utara Halmahera untuk menuju Morotai.
https://otomotif.kompas.com/read/2017/07/19/134900715/bunker-rusak-dan-filosofi-rumah-tua-tanpa-paku-