Jakarta, KompasOtomotif - Uber sebagai salah satu perusahaan penyedia aplikasi transportasi online, kembali buka suara mengenai kebijakan baru yang sudah diterapkan Menteri Perhubungan (Menhub) per 1 Juli 2017 kemarin. Uber berharap pemerintah bisa mempertimbangkan lagi mengenai kebijakan tersebut.
Baca : Mengapa Tarif Taksi "Online" Ditetapkan Rp 3.500 per Km?
Pasalnya beberapa poin revisi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan No.26 Tahun 2017 dianggap berisiko menghilangkan ragam manfaat ridesharing, baik bagi pengguna maupun mitra-pengemudi.
"Kami mengapresiasi langkah pemerintah untuk menetapkan panduan dan aturan untuk model bisnis yang baru ini. Namun, revisi aturan tersebut justru berisiko menghambat berbagai manfaat yang dihadirkan ridesharing kepada para penumpang, mitra-pengemudi, dan kota-kota kita," tulis Uber dalam situs resminya, Rabu (4/7/2017).
Baca : Penetapan Tarif Taksi "Online" Langkah Hindari Monopoli
Beberapa manfaat yang dimaksud terdiri dari lima poin, yaitu;
- Penumpang menghemat 65 persen untuk penumpang dan 38 persen dari waktu perjalanan dengan menggunakan aplikasi Uber dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi.
- 43 persen dari mitra-pengemudi bukan berasal dari angkatan kerja sebelum bermitra dengan Uber, 28 persen diantaranya pengangguran. 61 persen dari mitra mengemudi bersama Uber kurang dari 10 jam per minggu.
- 6 persen penumpang telah berhenti menyetir kendaraan pribadi dan 62 persen kini mengurangi frekuensi menyetir kendaraan pribadi setelah menggunakan Uber.
- 20 persen dari perjalanan di Jabodetabek diawali dan diakhiri di area-area yang tidak di akses kendaraan umum dan 30 persen perjalanan di Jakarta terjadi pada pukul 22:00-02:00 saat transportasi publik sangat terbatas.
- Perjalanan di Indonesia telah digunakan oleh pengunjung dari 76 negara.
Baca : Siap-siap, Ojek "Online" Juga Bakal Diatur Pemerintah
Sedangkan untuk alasan mengapa perlu adanya pertimbangan ulang, didasari dari tiga poin;
- Pembatasan kuota kendaraan dan biaya perjalanan serta beratnya persyaratan, seperti pengalihan kepemilikan kendaraan, menghalangi warga biasa yang ingin berbagi tumpangan, dan membatasi akses warga terhadap layanan mobilitas yang terjangkau dan nyaman. Hal-hal ini tidak sejalan dengan semangat pemerintah untuk menggalakkan ekonomi kerakyatan dan berbeda dengan langkah pemerintah kota DKI Jakarta yang tahun 2016 menghapus kuota dan batasan tarif taksi demi terciptanya persaingan yang sehat dan memandang kuota dan biaya perjalanan ridesharing tidak perlu diatur karena melihat perbedaan model bisnisnya.
- Persyaratan seperti pengalihan kepemilikan kendaraan, pemasangan kartu identitas dan nomor kontak pelanggan di interior mobil dan stiker di kendaraan tidak memiliki manfaat langsung bagi keselamatan dan kenyamanan. Dan mungkin tidak lagi relevan karena kami menggunakan teknologi untuk meningkatkan keselamatan sebelum, selama dan setelah perjalanan dengan cara-cara yang tidak dimungkinkan sebelum era ponsel pintar.
- Persyaratan akses data realtime perlu dikaji ulang karena merupakan informasi bisnis yang sensitif serta dapat melanggar hak privasi pengguna individu aplikasi Uber. Sangat penting juga pemerintah bisa mempertanggungjawabkan bagaimana informasi ini akan digunakan.