Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
LAPORAN LANGSUNG DARI TOKYO MOTOR SHOW 2019

Respons Daihatsu Soal Mobil Murah Kena Pajak

Kompas.com - 28/10/2019, 17:42 WIB
Stanly Ravel,
Aditya Maulana

Tim Redaksi

OSAKA, KOMPAS.com - Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019 mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Kendaraan Bermotor, rupanya akan berdampak pada harga mobil murah ramah lingkungan atau LCGC. Bila dulu LCGC tak memiliki pajak atau nol persen, kini naik tiga persen.

Walau aturan tersebut baru akan berlaku dua tahun lagi dari saat ini, artinya harga mobil murah akan terkoreksi menjadi lebih mahal.

Padahal dengan adanya peningkatan harga setiap tahun LCGC juga tak lagi bisa dibilang murah, apalagi nanti ditambah dengan pajak BBN-KB di DKI Jakarta yang akan naik 2,5 persen.

Baca juga: Peraturan Baru PPnBM, Mobil Murah Kena Pajak 3 Persen, Ini Reaksi Toyota

Menanggapi kondisi terebut, Direktur Pemasaran PT Astra Daihatsu Motor (ADM) Amelia Tjandra, belum mau terlalu banyak berkomentar selama detail rincian soal aturan PPnBM tersebut keluar.

Namun wanita yang akrab disapa Amel menjelaskan bila, mengenai regulasi adanya kenaikan pajak sebetulnya akan lebih berdampak bagi konsumen, bukan ke sektor industrinya.

"Sebetulnya secara dampak akan lebih ke konsumen, bukan ke industrinya. Dengan harga naik, yang rugi kan konsumen yang mau beli, untuk efek ke penjualan LCGC sendiri harus dilihat dari skala ekonomi makronya dulu," ucap Amel beberapa hari lalu usai mengujungi Tokyo Motor Show (TMS) di Jepang.

Lebih lanjut Amel menjelaskan, bila adanya kenaikan pajak yang diikuti peningkatan makro ekonomi seperti pendapatan perkapita yang juga naik, bisa jadi tak akan menghambat atau mempengaruhi penjualan mobil LCGC.

Tapi bila kondisi terbalik, otomatis akan memberikan dampak bagi penjualan mobil karena langsung mempengaruhi daya beli konsumen. Logika dasarnya seperti pendapatan masyarakat yang tak berubah, tapi harga mobil makin mahal.

Baca juga: Apa Kabar MPV Hybrid Murah Daihatsu?

"Daya beli tergantung GDP, selama GDP juga naik maka dia (masyarakat) mampu beli, tapi kalau tidak yah tidak. Melihat dari data pasar mobil mengalami kenaikan saat GDP di Indonesia berada di angka enam sampai tujuh persen dulu, tapi saat turun di lima persen penjualan itu flat," ujar Amel

"Jadi kalau mau naik, secara data histori GDP juga harus tinggi. Bila tidak demikian, mau ada perang diskon, mau ada model baru, dan lain sebagainya tetap saja flat, tidak naik-naik juga," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Komentar
asal pajaknya gak kegedean... #jernihberkomentar
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
[FULL] Kapolri soal Pantauan Arus Mudik Lebaran 2025: Fatalitas dan Keamanan Lebih Baik dari Tahun
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi Akun
Proteksi akunmu dari aktivitas yang tidak kamu lakukan.
199920002001200220032004200520062007200820092010
Data akan digunakan untuk tujuan verifikasi sesuai Kebijakan Data Pribadi KG Media.
Verifikasi Akun Berhasil
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau