Jakarta, KOMPAS.com – Khususnya di kota besar di Indonesia, apalagi Jakarta, kemacetan lalu lintas hampir setiap hari terjadi. Entah sampai kapan permasalahan ini bisa selesai dialami.
Direktur Keamanan dan Keselamatan (DirKamsel) Korlantas Polri Brigjen Pol Chryshnanda Dwilaksana mengatakan, kemacetan semestinya menjadi masalah besar, karena lalu lintas merupakan urat nadi kehidupan.
Namun faktanya, kata Chryshnanda, di kota-kota besar di Indonesia sering dianggap sebagai hal biasa. Dirinya menyebut kalau kemacetan sendiri disebabkan adanya perlambatan, yang disumbang setidaknya oleh 10 faktor.
“Sayangnya lagi faktor perlambatan ini hampir tidak pernah dipikirkan solusinya secara holistik atau sistemik. Cara penangananya masih parsial konvensional bahkan manual. Secara strategis dan politis hampir tidak tersentuh,” ujar Chryshnanda kepada Kompas.com, Kamis (8/3/2018).
Faktor penyumbang perlambatan pertama, yaitu kapasitas jalan yang tidak memadai. Kepadatan arus lalu lintas tidak pernah dipikirkan berapa persentase over kapasitas di jalur tersebut. Analisa petugas yang berada di back office, mungkin sama sekali tidak memahami atau mungkin tidak pernah terpikir soal aplikasi digital traffic count untuk mengetahui dan menjawab tingkat kepadatan arus.
Baca juga : Rawan Kecelakaan dan Bikin Macet, Perlintasan Kereta Akan Ditutup
“Tatkala kepadatan arus sudah melampaui batas maksimal atau potensi terjadinya kemacetan parah, harusnya diambil tindakan pengalihan arus atau setidaknya ada upaya memberi informasi kepada publik, untuk dapat melalui jalan alternatif,” kata Chryshnanda.
Kedua faktor jalan, di mana kondisi jalan yang bottle neck atau terjadi penyempitan, perlu dilakukan upaya-upaya rekayasa untuk menyelesaikannya, atau setidaknya ada tindakan pengaturan untuk mempercepat arus dengan mengatasi faktor perlambatan lainya.
“Kemudian ada faktor kerusakan jalan, tikungan, persimpangan sebidang, tanjankkan, traffic light, sistem penerangan jalan, gerbang tol yang belum menggunakan sistem electronic toll collecting, serta berbagai faktor jalan lainya yang menyebabkan para pengemudi mengurangi kecepatannya,” tutur Chryshnanda.
Ketiga, faktor kendaraan. Urusan ini, terkadang standar operasional kendaraan sering diabaikan. Saat mobil digunakan, bisa saja pecah ban, patah as, atau tidak memenuhui batas standar kecepatan minimal, over loading dan sebagainya.
“Ini semua menimbulkan perlambatan. Sistem kontrol yang ada untuk me-manage kendaraan yang digunakan berlalu lintas, lagi-lagi belum terintegrasi secara online untuk mengendalikan atau setidaknya bisa menjadi solusi pengurai,” ujar Chryshnanda.
Keempat, faktor pengemudi. Mereka yang kelelahan kemudian juga memperlambat kendaraannya. Begitu juga dengan driver yang kurang kompetensi, melakukan pelanggaran dan yang lainnya. Ini semua berdampak terjadinya kemacetan.
Kelima, adanya pembangunan jalan. Kondisi ini sangat mempengaruhi terjadinya perlambatan. “Sayangnya belum juga ada standar-standar yang menjadi SOP (Standar Operasional Prosedur) untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi tingkat perlambatan,” kata Chryshnanda.
Baca juga : Jalan Thamrin Berpotensi Macet Lagi karena Sepeda Motor
Keenam, parkir kendaraan bermotor yang sembarangan. “Inipun sistem-sistemnya masih manual konvensional, bahkan menjadi ajang perebutan sumber daya dan di kelola dengan cara-cara manual,” ucapnya.
Ketujuh, sistem-sistem tata ruang perkotaan, yang mengabaikan dampak lalu lintas. Chryshnanda menyebut, kebijakan dan pengaturan tata ruang seringkali dilanggar dan diabaikan. Analisa dan solusinya sebatas kelengkapan administrasi dan kepentingan seremonial atau supersial.
Kedelapan, kebijakan industri dan perdagangan kendaraan bermotor. Antara perindustrian dan perdagangan tidak mau tahu urusan kelancaran berlalu lintas, dengan alasan tenaga kerja atau devisa negara. “Lupa mungkin kalau lalu lintas juga menjadi cermin budaya bangsa,” tutur Chryshnanda.
Kesembilan, sistem angkutan umum yang tidak mampu menjadi ikon kebanggaan bagi seluruh warga. Angkutan umum yang buruk berdampak pada penggunaan kendaraan pribadi. Buruk di sini maksudnya, sistem angkutan masanya tidak mampu menjangkau atau melayani kebutuhan publik sampai dengan minimal 90 persen atau setidaknya 80 persen.
“Belum lagi sistem-sistem pengawasan dan pengaturan pada interchange (simpang susun) yang tidak profesional, sehingga menyebabkan perlambatan,” kata Chryshnanda.
Kesepuluh, kesadaran masyarakat yang rendah dari perilaku berlalu lintas yang melanggar, menggunakan jalan atau badan jalan yang bukan untuk lalu lintas.
“Kemudian pertanyaannya, penanganan ada? Iya pasti ada. Siapa yang dituding bersalah? Pertanyaanya ke mana Polisinya? Polisi-pun tidak menganalisa dan menjawab dengan penjagaan, pengaturan dan berbagai rekayasa terbatas, hingga membentuk tim urai. Ini sama juga kematian mendadak yang dikatakan serangan jantung,” ujar Chryshnanda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.