JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Global Data dan US Geological Survey Data, produksi nikel di Indonesia diestimasikan bisa mencapai sekitar 17 miliar ton pada tahun 2023.
Sumber daya ini kemudian ingin dimanfaatkan oleh pemerintah, salah satunya dengan mendorong elektrifikasi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mendorong realisasi investasi pembangunan ekosistem kendaraan listrik, dengan menggandeng beberapa produsen. Salah satunya adalah Hyundai, produsen otomotif asal Korea Selatan.
Akan tetapi, akselerasi adopsi kendaraan listrik di Indonesia menghadapi beberapa tantangan.
Direktur Sumber Daya Energi Mineral dan Pertambangan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Nizhar Marizi mengatakan, salah satu tantangannya adalah masyarakat yang masih khawatir soal daya tahan baterai.
Hal ini dikarenakan, di Indonesia, banyak orang memiliki kendaraan pribadi yang tidak hanya digunakan untuk bepergian jarak dekat, seperti bekerja. Kendaraan pribadi juga kerap digunakan untuk bepergian jarak jauh, seperti misalnya ketika mudik lebaran.
Kekhawatiran soal daya tahan baterai ini lantas berkaitan dengan ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU), yang jumlahnya masih sangat terbatas.
Hal itu juga diamini oleh Hendry Pratama Head of New Business Department Hyundai Motor Asia Pasific.
Oleh karena itu, Hyundai membangun ratusan SPKLU sebagai infrastruktur pendukung.
"Saat ini, kami adalah perusahaan swasta dan salah satu network (jaringan) EV charging station (stasiun pengisian daya) terbesar (di indonesia) setelah PLN," kata Hendry.
Hingga Maret 2024, Hyundai telah memiliki 200 SPKLU yang tersebar di seluruh Indonesia. SPKLU ini tidak hanya bisa digunakan oleh mobil keluaran Hyundai, melainkan juga merek lain, berkat penggunaan standar CCS2 (Combined Charging System 2) yang umum digunakan.
"Tantangan berikutnya adalah harga," kata Nizhar.
Nizhar menyadari bahwa harga kendaraan listrik saat ini masih cukup tinggi. Oleh sebab itu, pemerintah memberikan insentif dan subsidi untuk mendorong permintaan kendaraan listrik di Indonesia.
"Sudah dua tahun ini, kami ada subsidi untuk yang mau konversi motor BBM (bahan bakar minyak) menjadi motor listrik. Nah, ini sudah dua tahun, tapi targetnya enggak pernah (tercapai). Karena antusiasmenya tidak setinggi itu, paling 30-40 persen saja yang tercapai (dari target)," kata Nizhar.
Pemerintah juga berupaya memberikan contoh dengan menggunakan kendaraan listrik di acara besar. Harapannya, dengan melihat tokoh publik mengendarai mobil listrik, masyarakat tergerak ikut menggunakannya juga.