JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan bahwa penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) alias Battery Electric Vehicle (BEV), ialah salah satu cara yang signifikan untuk menekan tingkat polusi lewat pengurangan emisi gas buang.
Hanya saja untuk menuju ke pemakaian BEV sebagai alat transportasi rendah emisi, diperlukan suatu transisi. Sebab perpindahan jenis moda transportasi terkait butuh penyesuaian kembali khususnya ketika hendak dipakai harian.
Tidak sampai di sana, gejolak lompatan teknologi tersebut juga pasti berdampak ke industri otomotif. Mengingat, industri kendaraan konvensional berbahan bakar fosil sudah berdiri sampai 50 tahun di Indonesia.
Baca juga: Alasan Pemerintah RI Perluas Pemberian Insentif Terhadap Motor Listrik
"Dalam konteks ekonomi, itu akan jadi pertimbangan karena ada satu setengah juta orang yang masih berkerja di supplier-supplier otomotif ICE. Jadi ada backward dan forward linkage yang besar," kata Taufiek Bawazier, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin dalam diskusi 'Otomotif, Ujung Tombak Dekarbonisasi Indonesia' di Jakarta, Selasa (8/8/2023).
"Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh diam. Dalam artian, makanya tahap awal itu kita punya target 20 persen di tahun 2030 (TKDN). Kemudian secara gradual naik ya. Tujuannya, untuk switching, mengubah pasar-pasar besar saya katakan tadi," lanjut dia.
Seiring dengan hal tersebut, popularitas kendaraan yang rendah emisi seperti Hybrid Electric Vehicle (HEV) dan Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV), juga perlu didorong. Sebab penggunaannya tidaklah membutuhkan penyesuaian mendalam. Selain itu, harga jual juga lebih murah daripada BEV.
Berdasarkan perhitungan emisi dari tangki bensin ke knalpot, HEV dapat mengurangi emisi hingga 49 persen dibanding kendaraan konvensional. Sementara PHEV, dapat mengurangi 74 persen emisi.
Baca juga: Polres Metro Depok Sudah Pakai Sirkuit Baru buat Ujian SIM C
Pengamat otomotif LPEM Universitas Indonesia Riyanto menuturkan, saat ini, menjual satu BEV lebih sulit ketimbang dua HEV. Dengan alasan ini, maka penjualan HEV perlu didorong, lantaran emisi dua mobil jenis ini sama seperti satu BEV.
“Saat ini, BEV mendapatkan insentif BBN dan PKB. Saya kira ini bisa dipertimbangkan juga ke hybrid, karena bisa mengurangi emisi sampai 50 persen. Jadi, mobil hybrid layak mendapatkan tambahan insentif,” kata Riyanto.
Menurut dia, mobil hybrid pas digunakan di era transisi menuju netralitas karbon pada 2060. Alasannya, harga BEV saat ini mahal, berkisar Rp 600 juta-Rp 700 jutaan, sehingga pasarnya tipis. Memang ada BEV di bawah Rp 300 juta. Akan tetapi, mobil ini bukan untuk pembeli pertama, melainkan pembeli kedua dan ketiga.
Artinya, dia menegaskan, dengan bujet Rp 200 juta-Rp 300 juta, besar kemungkinan mereka lebih memilih mobil ICE berkapasitas tujuh penumpang.
Baca juga: Catat, Begini Tips Agar Lulus Ujian Praktik SIM C dengan Trek Baru
Dia menilai, harga HEV tujuh dan lima penumpang kini lebih mendekati ICE. Dengan demikian, hybrid bisa diandalkan untuk mengurangi emisi di era transisi.
“BEV memang bisa menurunkan emisi sesuai target pemerintah. Akan tetapi, bisakah volume penjualan BEV sesuai target pemerintah untuk mengurangi emisi?” kata dia.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), per-Juni 2023 penjualan HEV mencapai 17.280 unit dengan porsi 3,4 persen terhadap total pasar. Jumlah ini jauh melebihi BEV yang hanya 5.850 unit.
Sementara, penjualan HEV pada semester I/2023 sudah melampaui torehan sepanjang 2022 yang mencapai 10.344 unit.
"Penjualan HEV lebih besar karena masyarakat karena tidak perlu khawatirkan pengecasan baterai saat menempuh jarak jauh dibanding BEV," kata Taufiek lagi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.