Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Solar B20 Disebut Tak Ramah Lingkungan, Ini Kata Jokowi

Kompas.com - 12/01/2020, 08:38 WIB
Ruly Kurniawan,
Azwar Ferdian

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menjawab tundingan Uni Eropa yang menilai produk turunan kelapa sawit Indonesia, khususnya minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO), tidak ramah lingkungan.

Menurut Jokowi, tuduhan itu tidak lain karena adanya persaingan bisnis antarnegara. Sebab, Eropa lebih banyak memproduksi minyak bunga matahari yang harganya lebih mahal daripada CPO.

"Uni Eropa memunculkan isu bahwa CPO tidak ramah lingkungan. Saya kira isu ini hanya soal perang bisnis antarnegara saja. Sebab, CPO bisa lebih murah dari minyak bunga matahari yang mereka hasilkan," kata Jokowi melalui keterangan resmi, Minggu (12/1/2020).

Baca juga: Mulai 2020, 5 Provinsi Ini Pakai B30

Biodiesel 20 persen (B20)KOMPAS.com/SRI LESTARI Biodiesel 20 persen (B20)

"Sekarang kita ubah. CPO lebih banyak kita pakai untuk kebutuhan domestik. Kita jadikan campuran untuk biodiesel melalui program B20, B30 saat ini, dan nanti B50. Jangan pernah khawatir tidak diminati oleh pasar," lanjut Jokowi.

Jokowi menjelaskan, dengan menjalankan program tersebut Indonesia bisa menghemat hingga Rp 110 triliun per tahun.

Capaian ini didapat dari pengurangan impor bahan bakar minyak (BBM) berjenis fosil dan komoditas lain seperti nikel, bauksit, batu bara, sampai kopra.

Sebagai informasi, Indonesia memiliki 13 juta hektare kebun kepala sawit yang mampu memproduksi hingga 46 juta ton per tahun.

Baca juga: Ini Dampak Penggunaan B30 pada Kendaraan

DFSK Super Cab ikut dalam uji coba bahan bakar BBM Solar B30DFSK DFSK Super Cab ikut dalam uji coba bahan bakar BBM Solar B30

"Dari CPO, hiliriasasi industri kita terapkan pada komoditas lain seperti nikel, bauksit, timah, batu bara, hingga kopra. Nantinya, komoditas-komoditas tersebut tidak akan diekspor dalam bentuk mentah, semua dalam bentuk jadi atau setengah jadi. Inilah cara Indonesia mampu tetap berdiri tegak dalam memperjuangkan kepentingan nasional di situasi global yang penuh tantangan," ujar Jokowi.

Sebelumnya, berdasarkan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) yang diterapkan Uni Eropa, minyak kelapa sawit masuk dalam ketegori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 

Selamat pagi. Bertahun-tahun lamanya ekonomi Indonesia bertumpu pada komoditas, dan selalu mengekspornya dalam bentuk bahan mentah. Tanpa nilai tambah, dan kita mudah dipermainkan oleh pasar. Contohnya minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Indonesia memiliki 13 juta hektare kebun kelapa sawit dengan produksi kurang lebih 46 juta ton per tahun. Uni Eropa memunculkan isu bahwa CPO tidak ramah lingkungan. Saya kira, isu ini hanya soal perang bisnis antarnegara saja. CPO ini bisa lebih murah dari minyak bunga matahari yang mereka hasilkan. Sekarang kita ubah. CPO lebih banyak kita pakai untuk kebutuhan domestik. Kita jadikan campuran untuk biodiesel melalui program B20 tahun lalu, kini mulai B30, dan nanti jadi B50. Tak perlu khawatir tidak diminati oleh pasar. Bayangkan, dengan B30, kita menghemat kurang lebih Rp110 triliun per tahun. Dari CPO, hilirisasi industri kita terapkan pada komoditas lain seperti nikel, bauksit, timah, batu bara, hingga kopra. Nantinya, komoditas-komoditas tersebut tidak akan diekspor dalam bentuk mentah. Semua dalam bentuk jadi atau setengah jadi. Dengan cara itulah, di tengah situasi global yang penuh tantangan, Indonesia mampu tetap berdiri tegak dalam memperjuangkan kepentingan nasional.

A post shared by Joko Widodo (@jokowi) on Jan 10, 2020 at 5:56pm PST

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau