Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mobil Hybrid Perlu Insentif demi Lepas dari Jebakan 1 Juta Unit

JAKARTA, KOMPAS.com - Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebut bahwa keberpihakan kebijakan terhadap kendaraan hybrid juga penting untuk jadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam era mobil listrik.

Dalam lima tahun terakhir, pasar mobil Indonesia stagnan di level 1 juta unit atau one milion trap dan nyaris tidak berkembang.

Apalagi saat ini, penjualan kendaraan ramah lingkungan yang memakai dua sumber penggerak tersebut terbukti berhasil tumbuh signifikan di 2 tahun belakangan.

"Pada 2022, penjualan BEV (battery electric vehicle) itu 10.327 unit dan hybrid 5.100 unit. Tapi masuk ke 2023, tanpa insentif mobil hybrid bisa capai 52.568 unit," kata Sekertaris Jenderal Gaikindo, Kukuh Kumara saat dihubungi Kompas.com, Senin (19/2/2024).

"Sementara BEV yang dikasih insentif baru mencapai 17.058 unit. Maka, seharusnya hybrid itu diberikan kesempatan. Kita kan harus keluar dari jebakan (penjualan) 1 juta unit, sudah satu dekade loh," ucap dia lagi.

Lebih jauh, menurutnya mobil hybrid harus jalan beriringan dengan BEV karena keduanya merupakan jenis kendaraan ramah lingkungan untuk mencapai netralitas karbon pada 2060 mendatang dan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi kendaraan listrik global.

Mengingat industri otomotif naisonal memiliki nilai power linkage hingga Rp 35 triliun dan backward linkage sebesar Rp 43 triliun di tahun 2021 (data Kementerian Perindustrian).

Artinya, rantai pasok pada sektor tersebut yang sudah berjalan sangat besar.

"Kita jalan bareng aja, yang penting dibuat di Indonesia semua. Dengan begitu, eksisting industri bisa berjalan dan tumbuh bersama kendaraan listrik. Bukannya saling kanibal," ucap Kukuh.

"Industri yang buat mesin tetap jalan, sementara pendatang yang ingin membuat baterai tetap masuk. Nanti konsumen lah yang pilih," tambah dia.

"Dengan masyarakat memilih hybrid kan sebenarnya jadi insentif bagi pemerintah juga karena bisa menghemat 50 persen bahan bakar, lebih ramah lingkungan dan mengurangi emisi," katanya lagi.

Terlebih, Indonesia sedang mengembangkan bahan bakar fosil ramah lingkungan melalui Biodiesel 40 persen dan Bioetanol yang berasal dari tebu.

Apabila penggunaan bahan bakar hijau tersebut digabungkan dengan kendaraan hybrid, ucap Kukuh, maka semakin besar pula penghematan konsumsi bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor.

"Jadi melihatnya secara luas. Mobil hybrid itu tetap mendukung untuk penghematan konsumsi BBM dan mengurangi emisi. Sudah seharusnya diberikan kesempatan, jalan bersama-sama aja," kata Kukuh.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah tengah menyiapkan insentif khusus mobil hybrid di Indonesia.

Keputusan tersebut menyusul potensi penjualan kendaraan hybrid yang lebih bagus daripada mobil listrik murni.

"Sehingga hybrid jadi solusi intermediate, solusi menengah. Jadi nanti akan dikaji," kata dia.

Namun, pernyataan berbeda datang dari Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang mengatakan bahwa pemberian insentif pada mobil hybrid tidak terlalu penting.

Alasannya, karena mobil masih menghasilkan emisi buang sementara Indonesia tengah berupaya untuk mencapai netralitas karbon.

"Menurut saya (insentif mobil hybrid) tidak penting-penting amat. Toh masih pakai bensin," ucap Moeldoko.

"Tambah lagi, apakah itu menjadi beban bagi masyarakat saya tidak ngerti, konsumen yang menentukan. Tetapi dari sisi insentif, saya rasa tidak akan diberikan seperti mobil listrik murni," lanjut dia.

https://otomotif.kompas.com/read/2024/02/21/080200215/mobil-hybrid-perlu-insentif-demi-lepas-dari-jebakan-1-juta-unit

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke