JAKARTA, KOMPAS.com - Dewasa ini, perkembangan kendaraan listrik di pasar Indonesia mulai tampak agresif. Berbagai merek dan produk ramah lingkungan ramai disuguhkan ke masyarakat guna mempercepat proses peralihan.
Sebut saja Hyundai, Wuling, Morris Garage (MG), DFSK, sampai BYD, yang dalam dua tahun belakangan terus meningkatkan upaya supaya dapat memberikan produk kendaraan elektrifikasi terbaiknya berupa teknologi, battery electric vehicle (BEV).
Meski begitu, Suzuki selaku salah satu perusahaan otomotif raksasa dalam negeri yang juga kerap terdepan pada aspek teknologi, masih cenderung berjalan santai menuju ke sana.
Dijelaskan Managing Director PT Suzuki Indomobil Motor (SIM) Shodiq Wicaksono, hal tersebut tidak lepas dari strategi perusahaan.
Sebab menurutnya, untuk menuju transportasi yang ramah lingkungan membutuhkan transisi yaitu, melalui teknologi hibrida (hybrid electric vehicle/HEV).
"Setiap perusahaan masing-masing memiliki gacoannya (keunggulan) tersendiri. Tetapi buat Suzuki, pada pangsa pasar yang kami sasar ya, harga Rp 300 juta ke bawah masih paling pas hybrid," katanya ketika ditemui di IIMS 2024, JIExpo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (17/2/2024).
"Bukan berarti kita anti-BEV, semuanya pasti ada segmennya. Namun pada harga tertentu, HEV itu jadi pintu masuk menuju elektrifikasi," ucap Shodiq.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan karakteristik pengguna mobil di Indonesia, terkhusus pada kelas menengah ke bawah, yang rata-rata pemakaian hariannya tidak menentu dengan jarak tempuh relatif jauh.
Sementara pada BEV, jarak tempuh pada kendaraan memiliki limitasi sebelum pada akhirnya harus diisi daya dengan cara ngecas.
Selain itu, penggunaan HEV tak butuh penyesuaian penggunaan yang sangat dalam alias hampir serupa dengan memakai mobil berbahan bakar minyak.
"Jadi kami pikir, hybrid merupakan pintu masuknya. Kalau sudah kenal HEV, teknologinya seperti apa, nanti dengan sendirinya berpindah ke BEV," ucap Shodiq.
Adapun pada sisi manufaktur, ia mengatakan peralihan lini produksi ke kendaraan listrik bukan jadi masalah. Meskipun memang diakui perlu investasi tambahan yang cukup besar.
"Karena tentunya ada beberapa bagian yang harus dimodifikasi sebab pemasangan mesin dengan baterai itu berbeda, platformnya beda. Tapi saya rasa tidak masalah asalkan diberikan waktu," kata dia.
"Balik lagi, masing-masing perusahaan punya starateginya sendiri, ya. Ada juga perusahaan yang sejak awal bergerak langsung ke BEV, buat mereka kuatnya di situ, ya silahkan saja. Tak masalah," tutup Shodiq.
https://otomotif.kompas.com/read/2024/02/18/084200215/mobil-hybrid-di-bawah-rp-300-juta-paling-pas-di-indonesia