JAKARTA, KOMPAS.com – Greenflation menjadi istilah yang belakangan ramai dibicarakan masyarakat usai disebut oleh Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, dalam gelaran Debat Kedua Cawapres akhir pekan lalu.
Istilah greenflation dikemukakan oleh Gibran ketika menyampaikan pertanyaan kepada Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD.
"Bagaimana cara mengatasi greenflation? Ini adalah inflasi hijau," tanya Gibran dalam gelaran Debat Kedua Cawapres, Minggu (21/1/2024).
Secara sederhana, ‘greenflation atau green inflation’ merupakan terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan kenaikan biaya sejumlah komoditas, yang terjadi akibat proses transisi ke energi ramah lingkungan.
Istilah ini tentu mengingatkan kita kepada wacana kenaikan pajak motor bensin, yang sempat diungkap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan belum lama ini.
Luhut belum merinci kapan ketentuan itu direalisasikan. Jenis pajak yang hendak direvisi pun belum dirincikan.
Tetapi tujuannya, mengakselerasi ekosistem kendaraan listrik sebagai upaya menekan polusi udara. Selain itu, diharapkan pajak tersebut dapat dialokasikan untuk subsidi transportasi publik.
“(Wacana kenaikan pajak motor) itu sebenarnya salah satu dampak dari greenflation,” ujar Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, kepada Kompas.com, Rabu (24/1/2024).
“Asal dengan catatan, uang dari hasil pajak motor itu digunakan memang untuk tujuan beralih ke kendaraan yang lebih bersih ataupun ke transportasi publik,” kata dia.
Meski begitu apabila tujuan-tujuan yang diharapkan terkait energi hijau tidak tercapai, maka kenaikan pajak motor tidak termasuk ke dalam greenflation.
“Sementara pajak kendaraan bermotor yang dinaikkan itu signifikan, ini tidak termasuk dalam kategori greenflation, tapi semata hanya perubahan kebijakan fiskal,” kata Bhima.
“(Saat greenflation berlaku) harusnya terjadi penambahan kendaraan listrik, atau terjadi pergeseran ke transportasi publik yang signifikan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Komersial AISI Sigit Kumala, mengatakan, saat ini fenomena greenflation belum terasa di sektor industri.
“Saya belum melihat, karena kita yang ekonomi energi terbarukan sedang dibahas di beberapa negara. Tapi impact-nya belum begitu luas, dan kita belum merasakan perubahannya,” ujar Sigit, kepada Kompas.com, Rabu (24/1/2024).
Sebagai contoh, saat ini pabrikan motor yang beroperasi di Indonesia mulai melakukan penghematan listrik menggunakan tenaga solar panel.
Kemudian, pabrikan juga mulai mengurangi sampah, karena menyebabkan polusi udara. Termasuk juga mengurangi efek dari batubara.
Sigit menambahkan, industri roda dua juga sudah menyiapkan biaya tersendiri untuk energi hijau.
Dengan begitu diharapkan dapat menciptakan nilai keekonomian, yang membuat harga motor listrik ataupun baterai menjadi lebih terjangkau.
"Tinggal bagaimana dengan perubahan energi transisi ini menyebabkan harganya menjadi lebih murah. Bukan menyebabkan harganya jadi tidak kompetitif. Arahnya mau ke arah sana, tapi masih belum kompetitif,” ucap dia.
https://otomotif.kompas.com/read/2024/01/25/070200315/apakah-wacana-kenaikan-pajak-motor-termasuk-greenflation-