JAKARTA, KOMPAS.com - Kendaraan listrik dipercaya akan menjadi tren di masa depan. Percepatan elektrifikasi pun mulai terasa di Indonesia, salah satunya semakin ramai pemakaian sepeda listrik.
Namun, penggunaan sepeda listrik kerap mengganggu sebab pemakainya adalah anak kecil. Sepeda listrik yang tanpa suara dan lumayan kencang itu kerap dipakai anak di bawah umur masuk ke jalan raya yang penuh kendaraan.
Bahkan belum lama ini beredar di media sosial video yang memperlihatkan kecelakaan antara sepeda listrik dengan mobil boks.
Disebutkan bahwa pengendara sepeda listrik yang masih anak kecil sampai kehilangan nyawa akibat kecelakaan tersebut.
Psikolog Anna Surti Ariani mengatakan, bicara mengenai kesiapan berkendara setidaknya ada 3 dominan besar yang perlu diperhatikan.
“Pertama adalah fisik-motorik. Apakah kendaraan itu memang didisain untuk usia tersebut? Kalau motor biasanya didesain untuk orang dewasa. Tinggi badan anak kan di bawah tinggi badan orang dewasa, sehingga kalau anak menaiki motor, maka akan cepat lelah,” ucap wanita yang akrab disapa Nina, kepada Kompas.com. Jumat (22/12/2023).
Nina melanjutkan, jika anak cepat lelah maka kecepatan reaksinya dan kewaspadaannya berkurang, sehingga berbahaya untuk dirinya dan pengguna jalan lain.
“Ada beberapa sepeda listrik didisain untuk anak, biasanya kecepatannya juga disesuaikan (aturan kita adalah kurang dari 25km/jam). Kalau ukurannya sesuai masih boleh,” kata Nina.
Meski begitu ada beberapa kesiapan lain yang perlu diperhatikan. Seperti kognitif-bahasa (secara khusus domain kognitif alias kemampuan berpikir).
“Pengetahuan lalu lintas anak dan remaja biasanya masih kurang dibandingkan orang dewasa. Selain itu kemampuan problem solving juga belum matang. Jadi saat menghadapi masalah di jalan raya, belum tentu dapat menemukan solusi yang tepat, bahkan bisa jadi memilih alternatif yang merugikan diri atau orang lain,” kata Nina.
Selain itu, emosi-sosial, di mana anak-anak dan remaja biasanya masih cenderung labil emosinya.
“Kalau ada yang ngebut, kadang jadi tertantang mengebut, tidak mempertimbangkan apakah aman atau tidak. Selain itu, harusnya kan memang mengendarai kendaraan secara mandiri di jalan raya perlu memiliki SIM. Bila tidak memiliki SIM tapi tetap berkendara, maka sebetulnya melanggar hukum,” ucap Nina.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara secara psikologis anak dan remaja belum boleh berkendara secara mandiri dengan kendaraan listrik atau kendaraan bermotor di jalan raya.
“Kalaupun menggunakan, sebaiknya tidak di jalan raya, atau dengan pendampingan orang dewasa yang bertanggung jawab. Kalau orangtua tidak bisa mendampingi, maka anak perlu dilarang untuk mengendarainya, apapun alasannya,” ujar Nina.
Nina juga berharap segera ada regulasi yang jelas terkait penggunaan sepeda listrik. Misalnya yang boleh mengendarai hanya yang memiliki SIM dan SIM diberikan di atas usia 17 tahun.
“Bila ada regulasi yang jelas, maka orangtua juga punya kekuatan untuk melarang anaknya, karena dengan mengijinkan artinya membuat anak jadi pelanggar hukum,” kata Nina.
https://otomotif.kompas.com/read/2023/12/22/172641815/ini-alasan-anak-kecil-jangan-sampai-bawa-sepeda-listrik-ke-jalan-raya