Kendati dari pihak Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan penerapan kebijakan tersebut akan dilakukan secara bertahap, artinya program Zero ODOL ini kembali tertunda.
Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas mengatakan jika ada beberapa pihak yang masih bertentangan sehingga kebijakan Zero ODOL masih terus mandet.
“Jadi, masalah ODOL itu sebenarnya kebijakannya tidak hanya di Kemenhub. Tapi ada juga peran Kementerian Perindustrian. Namun, Kementerian Perindustrian masih resisten untuk penghapusan ODOL,” kata pria yang akrab disapa Tyas tersebut saat kepada Kompas.com, Senin (17/4/2023).
Hal itu karena ODOL itu bagi Kementerian PUPR merusak jalan, sementara bagi Kemenhub kehadiran ODOL jadi penyebab kecelakaan.
“Jadi masih ada kementerian yang masih resisten untuk diterapkan kebijakan penghapusan ODOL. Itu intinya,” kata Tyas.
Maka dari itu, menurut Tyas formula yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan ini adalah adanya kebijakan dari presiden.
“Entah itu instruksi, entah itu keputusan presiden terserah apa bentuknya. Intinya presiden memerintahkan kepada semua kementerian dan lembaga untuk tidak mengizinkan ODOL beroperasi lagi,” kata Tyas.
Terkait harga komoditas atau produk akan alami inflasi atau kenaikan bila diterapkan kebijakan Zero ODOL, menurut Tyas itu merupakan bagian dari kegiatan melobi dari pihak industri.
Jika melihat ke negara maju yang tidak ada ODOL, namun perekonomian negara tersebut tetap jalan. Sehingga penerapan kebijakan ini tidak membawa pengaruh kepada perekonomian juga diterapkan dengan tepat.
Menurut Tyas, yang menyebabkan harga komoditas naik lantaran banyaknya aksi pungutan liar di jalan.
“Kalau bisa presiden juga menginstruksikan bahwa jangan ada pungutan bagi pengemudi truk sehingga pengemudi truk tidak harus membawa barang yang melebihi kapasitas. Supaya tidak perlu kasih saweran petugas di lapangan,” kata Tyas.
https://otomotif.kompas.com/read/2023/04/17/184100115/kemelut-penerapan-kebijakan-penindakan-truk-odol-di-indonesia