JAKARTA, KOMPAS.com - Penetrasi pergerakkan industri kendaran bermotor listrik (electric vehicle/EV) Indonesia dianggap belum sesuai dengan arah bisnis dari para produsen otomotif yang menguasai mayoritas pasar.
Berdasarkan hasil riset terbaru dari Institute for Energy Economics and Financial Analyis (IEEFA), para pemain tersebut yang mencangkup Honda, Mitsubishi, Suzuki, Toyota, dan Daihatsu, lebih menekankan pentingnya memberi pilihan kendaraan bagi konsumen.
Pilihan kendaraan dimaksud, dari kendaraan hibrida (hybrid electric vehicle/HEV), plug-in hybrid electric vehice (PHEV), hingga kendaraan listrik murni berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV).
Sementara Indonesia, menargetkan tingkat penjualan kendaraan listrik berbasis baterai yang tinggi, yaitu 13 juta sepeda motor listrik dan 2,2 juta mobil listrik pada 2030.
"Rencana elektrifikasi dari pemain industri yang lamban dikombinsikan dengan jumlah dominasi pasar mereka (mencapai 90 persen) menjadi hambatan besar bagi ambisi RI," kata Analis IEEFA Putra Adhiguna dalam keterangannya, Selasa (7/2/2023).
"Para pemain otomotif banyak menekankan pentingnya memberi pilihan kendaraan bagi konsumen, namun opsi all-electric dari mereka hampir tidak bisa ditemukan," tambah dia.
Merujuk Fiscal Year 2022, penjualan BEV hanya mencapai 0,16 persen dari total unit penjualan Toyota di seluruh dunia.
Sementara penjualan motor listrik oleh Honda, menurut Putra, juga masih minim. Diketahui, pasar roda dua di Indonesia 96 persen dikuasai oleh Honda dan Yamaha.
"Langkah positif menuju elektrisasi memang mulai tampak, namun rencana yang ada tetap terlihat lemah," ucapnya.
Putra mengungkap bahwa para pelaku industri otomotif di Indonesia tampak kesulitan mengadopsi kendaraan listrik. Rendahnya penggunaan motor listrik di Indonesia juga menjadi indikator akan pengaruh kuat dari pemain yang ada.
Terlebih, hasil riset menunjukkan sejumlah produsen otomotif utama lebih fokus pada kendaraan hibrida konvensional.
Padahal, kata Putra, jenis kendaraan hibrida sudah dipasarkan lebih dari 20 tahun lalu yang pada prinsipnya kebanyakan ditenagai oleh Bahan Bakar Minyak (BBM) alih-alih baterai listrik.
"Sementara keuntungan penggunaan kendaraan PHEV akan sangat dipengaruhi perilaku penggunanya dalam mengisi-ulang baterai kendaraan," jelasnya.
Oleh karena itu, untuk mendorong peralihan ke kendaraan listrik, pemerintah diminta mempertimbangkan fasilitas kepada produsen seperti akses sumber daya dan kebijakan yang sesuai.
Tetapi, kata Putra, dengan persyaratan bahwa industri otomotif mesti menyelaraskan tujuan dengan transisi kendaraan listrik di Indonesia.
Ia pun menegaskan bahwa perhatian terhadap produsen otomotif besar yang ada sangat penting, karena mereka juga berpengaruh kuat dalam menentukan arah ke depan.
"Dominasi dan arah dari raksasa otomotif yang ada tidak mungkin dikesampingkan dalam pembahasan ambisi EV Indonesia. Karenanya, dukungan terhadap EV harus dibarengi kebijakan tegas untuk menahan laju penggunaan BBM untuk ICEV dari berbagai arah," imbuhnya.
https://otomotif.kompas.com/read/2023/02/07/182100015/penetrasi-kendaraan-listrik-belum-sejalan-dengan-industri