JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah RI tengah menyiapkan insentif untuk pembelian kendaraan bermotor listrik di dalam negeri yang diproyeksi bisa diimplementasikan pada 2023 ini.
Diharapkan dengan regulasi tersebut, program percepatan penggunaan kendaraan listrik nasional berslogan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), dapat semakin terakselerasi. Sebab daya beli rata-rata masyarakat Indonesia bakal bisa mencapainya.
Namun, Pengamat Transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno menilai, insentif kendaraan listrik kurang cocok bila diterapkan secara merata. Situasi ini berpotensi memperparah masalah kemacetan khususnya pada kawasan Ibu Kota.
"Sesungguhnya kebijakan yang tengah diformulasikan pemerintah saat ini kurang tepat, karena bisa menimbulkan masalah baru seperti kemacetan dan kecelakaan lalu lintas," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (4/1/2023).
"Di tengah upaya memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum, insentif ini kontra produktif jika diberikan pada sejumlah pembelian mobil listrik dan juga sepeda motor listrik," lanjut Djoko.
Ia beranggapan, seharusnya Kementerian Perindustrian RI turut mendukung upaya pembenahan transportasi umum yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan di kawasan perkotaan.
Sementara, insentif kendaraan listrik ini lebih tepat bila diterapkan di daerah-daerah yang memang kesulitan BBM seperti di Kota Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Pada kota itu masyarakat telah menggunakan kendaraan listrik dalam mobilitas sejak 2007.
"Alasannya, di distrik ini kesulitan mendapatkan BBM dan kondisi jaringan jalan yang tak lebar seperti jalan pada umumnya. Lebar jalannya itu rata-rata 4 meter dan dibangun di atas rawa. Oleh karenanya, kendaraan listrik jadi solusi tepat daripada harus mendapat BBM dengan ongkos mahal," kata dia.
"Ingat, Indonesia sedang mengalami krisis transportasi umum. Sudah banyak transportasi umum yang tidak beroperasi di banyak daerah dan sekalipun ada, hanya angkot-angkot yang sudah tidak laik operasi. Sudah tidak melakukan uji laik jalan (kir)," ujar Djoko.
Hal yang sama juga terjadi dengan angkutan pedesaan. Padahal sebelum tahun 2000-an cukup marak tapi sekarang banyak desa-desa yang tidak memilikinya. Sehingga para pelajar di sana untuk menuju sekolah beralih menggunakan sepeda motor.
"Memiliki sepeda motor seolah sudah jadi kebutuhan dasar selain sandang, pangan, dan perumahan. Buruknya layanan angkutan umum, menjadikan sepeda motor menjadi alat transportasi yang diandalkan masyarakat dalam aktivitas sehari-hari," ujar dia lagi.
Namun, di sisi lain dengan maraknya penggunaan sepeda motor telah menyebabkan tingginya angka kecelakaan sepeda motor. Data dari Korlantas Polri tahun 2020, angka kecelakaan sepeda motor mencapai 80 persen, angkutan barang 8 persen, bus 6 persen, mobil pribadi 2 persen dan lainnya 4 persen.
Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, maka wajar bila nantinya pemberian atas insentif kendaraan bermotor listrik malah memperparah keadaan transportasi Indonesia.
https://otomotif.kompas.com/read/2023/01/05/082200315/insentif-kendaraan-listrik-cuma-bisa-memperparah-kemacetan-jalan