JAKARTA, KOMPAS.com – Jakarta menjadi salah satu kota paling macet di Asia. Masyarakat diajak untuk memanfaatkan angkutan umum dalam rangka mengurangi kemacetan, yang merugikan hingga triliunan Rupiah setiap tahunnya.
Djoko Setijowarno Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat menjelaskan, bahwa kota merupakan tentang perpindahan orang bukan mobil. Kondisi di mana urban mobility adalah bagaimana orang dapat berpindah dengan semua pilihan yang ada.
Mobil bukannya dilarang di perkotaan, tapi prioritas pergerakan kota diberikan pada moda yang paling efisien menggunakan ruang jalan.
Menurut Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu, dominasi penduduk perkotaan (urban population) terhadap jumlah penduduk di Indonesia meningkat setiap tahunnya.
Di Indonesia, pengguna transportasi umum identik dengan kaum melarat alias kategori captive, karena tidak ada pilihan moda. Lain halnya di mancanegara, penggunanya adalah kaum konglomerat alias orang kaya, meskipun memiliki pilihan moda.
"Kesadaran akan manfaat transportasi umum yang dimulai adanya keputusan politik eksekutif dan legistatif untuk berpihak pada penyelenggaraan transportasi umum," kata Djoko Setijowarno Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat dalam keterangan tertulis, Senin (4/7/2022).
Worldometers mencatat pada 2019 jumlah penduduk perkotaan di Indonesia sebanyak 150,9 juta jiwa atau 55,8 persen dari total penduduk Indonesia yang sebesar 270,6 juta jiwa.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, sebanyak 56,7 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan tahun 2020.
"Sudah barang tentu untuk menggerakkan mobilitas secara bersamaan dalam waktu bersamaan pasti akan memerlukan fasilitas transportasi umum massal," ucap Djoko.
Djoko menilai jika masing-masing individu mengunakan kendaraan pribadi, tentunya akan menimbulkan kemacetan, peningkatan populasi udara, penggunaan BBM bertambah, tingkat stres warga meningkat. Juga angka kecelakaan juga tinggi.
Bappenas bersama Bank Dunia (2019), antara lain menyebutkan pangsa angkutan umum Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota lainnya rata-rata kurang dari 20 persen.
Kota Jakarta, Surabaya dan Bandung masuk dalam kota termacet di Asia. Kota Jakarta menduduki peringkat 10 dengan 53 persen tingkat kemacetan dibandingkan kondisi normal atau tidak macet di kota tersebut.
Keterbatasan sistem angkutan umum massal menyebabkan kemacetan yang akhirnya berdampak pada kerugian ekonomi.
Akibat kemacetan, peningkatan 1 persen urbanisasi di Indonesia hanya berdampak pada peningkatan 1,4 persen PDB per kapita.
Sementara itu, kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta mencapai Rp 65 triliun per tahun. Adapun di 5 wilayah metropolitan (Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Makassar) kerugian mencapai Rp 12 triliun per tahun.
https://otomotif.kompas.com/read/2022/07/05/080200715/angkutan-umum-terbatas-jakarta-masuk-ke-kota-paling-macet-di-asia