JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memprediksi total penjualan mobil listrik murni atau battery electric vehicle (BEV) di dunia pada tahun ini mencapai lebih dari 28 juta unit.
Sangat penting bagi Indonesia untuk tidak telat memulai era kendaraan listrik jika tidak mau ketinggalan jauh.
"BEV mengalami peningkatan penjualan tiap tahun. Diperkirakan, untuk jenis kendaraan penumpang pada 2021 akan mencapai lebih dari 28 juta unit dengan market share 30 persen," katanya dalam webinar 'Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi', Jumat (15/10/2021).
Menurut Agus, pertumbuhan tersebut nantinya akan berdampak pada peningkatan kebutuhan lithium ion battery (LIB) sebesar 1,65 juta GWh pada tahun 2030.
Kemudian, berbanding lurus juga atas kebutuhan infrastruktur berupa charging station sekitar 9,89 juta unit dalam tahun yang sama.
”Tingginya proyeksi peningkatan populasi kendaraan listrik dunia sedikit banyak dipengaruhi oleh global initiative campaign," ujar dia.
"Itu diprakarsai oleh berbagai negara maju dengan kerja sama para produsen electric vehicle (EV) global dan organisasi nirlaba lainnya. Jika kita tidak cukup cepat, akan tertinggal,” tambah Agus.
Pasalnya, peningkatan atas kebutuhan baterai kendaraan listrik akan mendukung peran strategis dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik.
Sementara Indonesia berada di posisi sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia serta masih tingginya cadangan bahan baku primer lain seperti cobalt, mangan, dan aluminium.
”Saat ini, ada sembilan perusahaan yang mendukung industri baterai, yang meliputi lima perusahaan penyedia bahan baku baterai," kata Agus.
"Itu terdiri dari nikel murni, kobalt murni, ferro nikel, endapan hidroksida campuran, dan lain-lain, serta empat perusahaan adalah produsen baterai,” ujarnya lagi.
Dengan demikian, Indonesia mampu mendukung rantai pasokan baterai untuk kendaraan listrik mulai dari bahan baku, kilang, manufaktur sel baterai dan perakitan baterai, manufaktur EV, hingga daur ulang EV.
Tidak sampai di sana, masa depan kendaraan listrik juga tergantung pada inovasi baterai yang saat ini cenderung tidak menggunakan bahan baku nikel, kobalt, dan mangan seperti lithium sulfur dan lithium ferro phosphor yang membuat baterai lebih murah.
"Termasuk juga inovasi solid baterai dan pengembangan basis storage hidrogen. Jadi kita juga harus mengantisipasi perkembangan teknologi ke depan karena berdampak pada baterai yang lebih murah, energi lebih tinggi, dan waktu pengisian yang singkat,” ujarnya.
"Jadi, ketersediaan nikel, mangan dan kobalt melimpah tidak menjamin produksi baterai keberhasilan produksi baterai. Pertimbangan biaya dan kemampuan storage dari material baru juga harus diantisipasi,” kata Agus.
https://otomotif.kompas.com/read/2021/10/18/092200415/telat-beralih-ke-era-kendaraan-listrik-indonesia-bisa-ketinggalan