JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bertekad untuk mengembangkan kendaraan bermotor listrik di dalam negeri dalam jangka menengah, hingga 14 tahun ke depan, sejalan dengan target penurunan emisi karbon hingga level 29 persen.
Sebab, langkah tersebut sudah terbukti di dunia dalam mengurangi emisi karbon yang dapat dihasilkan oleh kendaraan bermotor pembakaran dalam alias internal combustion engine (ICE).
"Kami sangat mendorong untuk dapat segera merealisasikan pengembangan atas kendaraan listrik beserta komponen utamanya seperti baterai, motor listrik, hingga inverter," ujar Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin Taufiek Bawazier dalam keterangan tertulis, Senin (27/9/2021).
Keseriusan tersebut tercantum dalam beberapa kebijakan yang sudah dihadirkan oleh pemerintah seperti Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV, dan Perhitungan Tingkat Kandungan Lokal Dalam Negeri (TKDN).
Kemudian, ada Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang mendukung era elektrifikasi.
Tidak lupa juga kehadiran insentif fiskal dan non-fiskal bagi konsumen dan industri, berupa pengenaan PPnBM sebesar 0 persen, uang muka 0 persen, holliday tax, mini tax holliday, sampai super tax deduction.
Adapun Indonesia telah menandatangani Paris Agreement pada 2015, yang merupakan kesepakatan global untuk mengurangi efek gas rumah kaca (GRK) agar pada abad ini suhu bumi tidak meningkat lebih dari 1,5 persen.
Perjanjian itu kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change.
Dalam kerja sama itu, Indonesia menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 29 persen secara mandiri atau 41 persen jika mendapat bantuan internasional. Lalu pada 2060, Tanah Air ditargetkan bisa mencapai net zero emission.
"Oleh karenanya, konsep well to wheel patut dijalankan karena dari hulu sampai hilir kena. Bila pembangkit masih memakai sumber energi fosil, tidak banyak ada perubahan," kata Taufiek.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kemenperin Sony Sulaksono mengatakan, salah satu tantangan terbesar Indonesia untuk mewujudkan ekosistem kendaraan listrik adalah produksi baterai.
Mengingat, baterai kendaraan listrik memegang sampai 60 persen dari total biaya produksi sehingga memengaruhi harga jual mobil atau motornya.
Diketahui, saat ini harga mobil listrik termurah yang dijual secara umum di dalam negeri berada di kisaran Rp 500 juta sampai Rp 600 jutaan. Padahal, daya beli masyarakat Indonesia untuk mobil ada pada level Rp 250 juta hingga Rp 300 jutaan.
"Walau Indonesia memiliki sumber (nikel) yang besar, bila terus dikeruk lama-lama juga akan habis. Maka, kita harus siap dengan segala tren-tren baru yang tidak hanya berbasis nikel (pada sisi baterai kendaraan listrik)," kata Sony.
Tidak lupa, ia meminta para produsen baterai untuk dapat lebih memprioritaskan produksi untuk pembuatan kendaraan listrik, bukan kepentingan lain, supaya seluruh target yang direncanakan dapat tercapai secara maksimal.
https://otomotif.kompas.com/read/2021/09/28/082200315/strategi-jangka-menengah-dalam-mempercepat-era-kendaraan-listrik