JAKARTA, KOMPAS.com - Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan industri mobil merek Jepang terkesan lamban untuk beralih ke kendaraan listrik berbasis baterai murni.
Satu diantaranya ialah kurangnya efektifitas pengurangan konsumsi karbon serta emisi yang dihasilkan oleh mobil listrik dari well-to-wheel. Sehingga, memutuskan perusahaan untuk langsung beralih ke teknologi lebih canggih.
"Saat semuanya mengacu pada lithium, mereka mengembangkan nitrogen untuk bahan bakar kendaraan. Memang, produk mobil listrik telah disiapkan tetapi langsung diloncati," ujar dia dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Forum Energizing Indonesia (FEI), Rabu (28/7/2021).
"Sehingga sekarang dia langsung membangun suatu mobil ramah lingkungan, contohnya Toyota Mirai," lanjutnya.
Sehingga, Taufiek menambahkan, strategi produsen otomotif Jepang ialah masuk ke teknologi internal combustion engine (ICE), hybrid, plug-in hybrid (PHEV), lalu full baterai, dan hidrogen.
"Tapi kendaraan listrik murni mereka tidak langsung masuk ke situ tapi loncat. Walaupun demikian, mereka sudah menyiapkan produk EV bila tren otomotif global mengarah ke sana jadi masih dapat bersaing," ucapnya.
Seiring dengan langkah tersebut, pabrikan Jepang juga berencana membuat solid baterai untuk digunakan pada produk mobil listrik murni. Sehingga, tidak lagi menggunakan nikel melainkan fluoride.
Alasannya, kata Taufik, solid baterai terbukti memiliki energi lebih besar daripada baterai lithium hingga tujuh kali lipat. Dalam suatu percobaan untuk produk Toyota, mobil mampu mencapai jarak tempuh 510 kilometer dengan waktu pengisian baterai 10 menit.
"Mobil tersebut lebih canggih dibandingkan dengan Tesla sekalipun. Tesla pun sekarang sedang berhitung karena produksi baterai untuk mobil listrik itu 60 persen lebih tinggi dari ICE," kata Taufiek.
"Jadi, mereka (merek Jepang) mencari bahan material guna mengurangi cost production-nya," kata Taufik, melanjutkan.
Atas dinamika dan perkembangan ini, Taufiek berharap seluruh pihak yang terkait atas pengembangan kendaraan listrik di dalam negeri mulai kembali berhitung. Baik dari skala ekonomi sampai komersialitas-nya agar optimal.
Sebab, sangat percuma bila peralihan dilakukan dengan cepat tapi pasar tak bisa menyerap. Rantai pasok pada industri sebelumnya pun akan runtuh secara perlahan sehingga dalam jangka panjang menimbulkan pemutusan kerja.
"Perlu diingat, sektor otomotif di Indonesia 20 persen menyumbang daripada sektor industrinya. Sementara sektor industri menyumbang 20 persen pada PDB nasional. Besar sekali sehingga butuh perhitungan matang," kata dia.
https://otomotif.kompas.com/read/2021/07/30/080200815/alasan-merek-jepang-terkesan-kurang-bergairah-sambut-era-mobil-listrik