JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah RI terus berupaya merealisasikan program percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) nasional guna meningkatkan daya saing dan ketahanan energi nasional.
Berbagai regulasi dan target pun telah dirancang, bersama dengan penetapan peta jalan alias road map sebagai pemandunya. Namun, melihat kondisi terkini, Indonesia mutlak butuh masa transisi dari teknologi konvensional menuju kendaraan listrik berbasis baterai alias Battery Electric Vehicle (BEV).
Artinya, cukup sulit untuk langsung melakukan perpindahan dari mobil konvensional atau teknologi internal combustion engine jadi mobil listrik murni (electrified vehicle).
"Banyak hal yang harus disiapkan agar hasil dari program dimaksud bisa maksimal seperti kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemasaran di dalam dan luar negeri," kata Komisaris Utama Mind ID Agus Tjahajana dalam diskusi virtual, Sabtu (22/5/2021).
"Tidak lupa ekosistem dari hulu sampai hilir harus dibentuk, seperti prihal uji kelayakan, pembuatan baterai, penggunaan bahan baku, infrastruktur, recycle baterai, dan sebagainya," tambah dia.
Selain itu, perpindahan sepenuhnya dari mobil konvensional ke mobil listrik juga berpotensi memukul industri otomotif dalam negeri. Khususnya, bagi mereka yang sudah berinvestasi sangat besar hingga triliunan rupiah.
Sebab, para pelaku industri itu tidak hanya harus melakukan studi dan penyesuaian pabrik kembali, tetapi juga akan memutus sebagian banyak kerja sama terhadap pemasok lokal.
"Komponen yang diperlukan EV itu lebih sedikit. Sehingga, akan ada banyak komponen yang tidak diperlukan lagi atau hilang seperti oli, aki, crankshaft, dan lain-lain," kata Agus.
Sementara baterai akan menjadi komponen paling penting dalam EV yang mewakili 30-35 persen dari biaya produksi. Otomatis, sebelum memopulerkan mobil listrik murni baiknya Indonesia harus memiliki pabrik baterai lebih dahulu.
"Lalu dari segi harga, saat ini EV masih sangat mahal. Berdasarkan data Gaikindo, kendaraan yang masih affordable untuk pasar dalam negeri ialah Rp 300 jutaan. Sedangkan harga EV kini masih di atas Rp 600 juta," ucap Agus.
"Jadi masalah perpajakan dan hal-hal yang bersangkutan dengan harga jual juga haruslah diperhatikan. Diketahui, penjualan EV untuk tahun 2019 nol unit dan selama tahun lalu sekitar 200 unit," katanya lagi.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebutkan, Indonesia memerlukan hampir 800.000 ton baterai lithium untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik di dalam negeri.
Kebutuhan itu berdasarkan target pemerintah yang ingin ada 2 juta mobil listrik dan 13 juta sepeda motor listrik mengaspal di Indonesia pada 2030.
Meski demikian, tidak ada yang tak mungkin mengingat Indonesia memiliki sumber kuat guna menjadi pemain utama era kendaraan listrik, yakni populasi, kepemilikan kendaraan, serta nikel. Hanya saja, diperlukan kerja sama yang erat di semua pihak terkait.
https://otomotif.kompas.com/read/2021/05/24/082200115/masa-transisi-mutlak-supaya-kendaraan-listrik-sukses-di-indonesia