JAKARTA, KOMPAS.com - Kebutuhan yang tinggi terhadap energi fosil (minyak bumi dan batu bara) untuk bahan bakar minyak (BBM), sektor transportasi, logistik, dan lain-lain membuat industri minyak dan gas diprediksi hanya bertahan sampai 25-50 tahun lagi.
Belum lagi, ada isu pemanasan global yang menjadi subjek perhatian di ranah global sejak tahun 1980 lalu. Sehingga, diperlukan energi alternatif seperti energi baru terbarukan (EBT).
Demikian dijelaskan oleh Komisaris Pertamina EP Muhammad Ali dalam suatu diskusi virtual belum lama ini. Ia pun menyebut, pada 2050 nanti, distribusi energi primer dunia diperkirakan bakal bergerak ke arah EBT.
Lebih jauh, di 2025-2030 penggunaan batu bara sudah harus digantikan dengan energi yang ramah lingkungan. Jadi, tercipta pengalihan proporsi untuk penggunaan energi terkait.
“Industri oil dan gas ini merupakan salah satu industri yang padat modal serta padat teknologi. Di mana, di dalam bumi banyak sekali hal-hal yang tak bisa dipastikan yang akan terjadi ketika kita sudah memetakan kemudian ngebor," katanya.
"Di situ apakah nanti akan keluar minyak, gas atau keluar air,” lanjut dia.
Ali mengatakan industri migas pernah menjadi primadona dunia,dan perusahaan yang bergerak di bidang migas menjadi entitas bisnis yang paling besar daripada entitas di industri lain.
"Namun hari ini industri yang menggeser ialah teknologi, perdagangan, dan keuangan digital. Apalagi sekarang kita memasuki 4.0 yang semua serba digital,” kata Ali.
Pada kesempatan sama, ia juga menyampaikan mulai tahun 2020, Tanah Air mulai melakukan penggunaan energi EBT seperti baterai listrik pada kendaraan bermotor, energi surya, serta energi angin.
Saat ini, Indonesia baru memiliki dua pembangkit listrik EBT bertenaga angin, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Kabupaten Sidrap (Sulawesi Selatan) dan PLTB Tolo di Kabupaten Jeneponto (Sulawesi Selatan).
https://otomotif.kompas.com/read/2021/05/18/170100715/industri-minyak-dan-gas-diprediksi-hanya-bisa-bertahan-50-tahun-lagi