Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Knalpot Aftermarket Dilarang, Penganggur Bisa Bertambah

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengendara sepeda motor yang menggunakan knalpot aftermarket dinilai telah melanggar persyaratan teknis dan laik jalan. Sehingga, pihak kepolisan pun melakukan penindakan berupa penilangan.

Langkah tersebut menuai banyak pro dan kontra. Banyak yang mendukung, karena knalpot aftermarket memiliki suara yang keras. Sehingga, dianggap menganggu kenyamanan.

Namun, di satu sisi, tidak semua knalpot aftermarket memiliki suara yang mengganggu kenyamanan.

Bahkan, beberapa produsen juga sudah memberikan solusi, seperti penggunaan dB killer dan lainnya.

Andi Akbar, builder Katros Garage, yang juga biasa membuat knalpot custom, mengatakan, jika dibaca di undang-undang memang sudah cukup jelas, mulai dari laik jalan dan lainnya.

"Tapi, jika diikuti bulat-bulat peraturannya, berarti akan ada banyak UKM yang pasti terganggu pendapatannya bahkan bisa tutup. Seharusnya, UU itu kan bisa mengakomodir semua," ujar pria yang akrab disapa Atenx, saat dihubungi Kompas.com, belum lama ini.

Atenx menambahkan, peraturannya belum bisa mengakomodir semua, baru mencakup satu sisi saja. Harusnya undang-undang bisa mengakomodir semua, sehingga pelaku usaha juga bisa berkembang.

"Orang beli knalpot racing kan tidak dirugikan, sebenarnya juga tidak merugikan orang lain. Tapi, kalau digeber-geber, baru itu mengganggu pengguna jalan lainnya. Kalau pakai knalpot racing tapi jalannya normal saja, orang lain juga tidak akan terganggu," kata Atenx.

Menurutnya, soal masalah kebisingan itu tergantung dari perilaku penggunanya. Dia mengibaratkan seperti pisau.

"Pisau dijual bebas, bisa dipakai untuk menusuk orang, tapi bisa dipakai juga untuk memasak. Jadi, tergantung dari penggunanya," ujar Atenx.

Jika penggunaan knalpot aftermarket dilarang, menurut Atenx, juga ada dampak buruk lainnya, seperti perajin knalpot.

"Kalau misalnya produsen knalpot aftermarket ditutup, pengangguran jadi naik dan itu jumlahnya banyak sekali. Di kota-kota besar pun tukang knalpot motor atau mobil yang kecil-kecil juga banyak jumlahnya," kata Atenx.

Salah satu kota perajin knalpot adalah Purbalingga. Menurut Atenx, pembuatan knalpot di sana sudah menjadi budaya.

"Sebuah daerah yang sudah punya trademark sendiri tentang skill yang mereka punya, itu kan sudah jadi budaya. Harusnya pemerintah justru mendukungnya," ujar Atenx.

Menurutnya, jika satu kota Purbalingga ditutup usaha pembuatan knalpotnya, bisa dibayangkan berapa banyak angka penganggurnya yang naik.

Tak sedikit produsen knalpot lokal yang berhasil melakukan ekspor ke beberapa negara lainnya, mulai dari lingkup ASEAN hingga Eropa.

"Saya pernah ngobrol dengan salah satu produsen knalpot yang bisa bertahan di tengah pandemi. Mereka jualannya tidak ke kota-kota besar di Indonesia, karena di sana sudah banyak knalpot dari luar yang masuk. Mereka jualannya justru ke Malaysia, ke Thailand, dan lainnya. Mereka hanya bikin knalpotnya, sementara mereknya dari si pemesan," kata Atenx.

Terkait polemik razia knalpot, menurut Atenx, pihak kepolisian tidak salah. Sebab, polisi hanya menjalankan tugas berdasarkan undang-undang yang sudah dibuat.

"Seharusnya, pemerintah tak hanya mengeluarkan peraturan untuk pihak manufaktur saja. Tapi, keluarkan juga aturan khusus untuk yang modifikasi, agar tidak tumpang tindih," ujar Atenx.

Produsen knalpot aftermarket asal Bandung yang enggan disebutkan namanya juga mengatakan, seharusnya pemerintah mendukung UKM knalpot lokal.

"Di tengah pandemi seperti ini, di saat banyak lapangan kerja tutup, tapi kami tetap bisa menyediakan lapangan kerja. Kami juga taat membayar pajak," kata Atenx.

Dia juga mengatakan, sebisa mungkin pihaknya sudah mengikuti aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

https://otomotif.kompas.com/read/2021/04/06/154100815/knalpot-aftermarket-dilarang-penganggur-bisa-bertambah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke