JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana untuk melakukan perubahan terhadap tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mobil listrik yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019.
Usulan ini dilayangkan dengan pertimbangan agar ada perbedaan selisih insentif yang lebih besar antara mobil listrik berbasis baterai murni atau Battery Electric Vehicle (BEV) dengan kendaraan yang sebagian masih menggunakan mesin berbahan bakar fosil.
Dengan kata lain, pengenaan tarif PPnBM untuk mobil listrik tergantung dari dampak emisi karbon yang ditimbulkan. Adapun kendaraan listrik sebagian dimaksud ialah full hybrid, plug-in hybrid electric vehicle (PHEV), dan mild hybrid.
Menanggapi rencana itu, Business Innovation and Sales & Marketing Director Honda Prospect Motor Yusak Billy menyebut bahwa langkah dimaksud merupakan salah satu bentuk ketegasan pemerintah untuk menyambut era elektrifikasi kendaraan.
Sehingga, membuat perencanaan perseroan terhadap program mobil listrik berbasis baterai di dalam negeri semakin mantap serta cepat.
"Kini Honda terus menyusun strategi dan mempelajari untuk elektrifikasi di Indonesia yang tentunya didasarkan pada kondisi pasar, infrastruktur, dan kebutuhan dari konsumen," kata Billy kepada Kompas.com, Selasa (16/3/2021).
"Skema pajak bisa menjadi salah satu faktor pertimbangan, namun pada akhirnya kami ingin tetap menghadirkan produk yang benar-benar menjawab kebutuhan dari konsumen," tambahnya.
Hal serupa dipaparkan oleh Marketing Director Toyota Astra Motor (TAM) Anton Jimmi Suwandy dalam kesempatan terpisah. Ia berharap, regulasi perpajakan bisa diimplementasikan secara konsisten dan jangan sampai berubah-ubah.
"Pada prinsipnya Toyota akan selalu mendukung arahan pemerintah untuk elektrifikasi kendaraan. Saat ini Toyota memiliki beberapa jenis mobil berbasis listrik, mulai BEV, PHEV, Hybrid, sampai FCEV," ujar dia.
Untuk diketahui, usulan revisi tersebut kali pertama disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (15/3/2021).
Menariknya, bleid PP No 73 Tahun 2019 ini ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 15 Oktober 2019, diundangkan sehari kemudian (16/10/2019), dan baru mau berlaku mulai Oktober 2021. Artinya, regulasi belum sempat berjalan, sudah lebih dahulu direvisi duluan.
Ia menjelaskan, terdapat dua skema perubahan tarif PPnBM untuk mobil hemat energi.
Skema pertama, untuk mobil hemat energi jenis BEV (pasal 36), PPnBM direncanakan sebesar 0 persen atau tak berubah dari PP 73 tahun 2019. Sementara untuk PHEV (pasal 36) dinaikkan menjadi 5 persen dari sebelumnya 0 persen.
Kemudian, untuk mobil jenis full hybrid (pasal 26) besaran PPnBM direncanakan usulan kenaikan 6 persen, dari sebelumnnya hanya 2 persen. Selanjutnya, untuk kategori full hybrid pasal 27 dan pasal 28 direncanakan kenaikan jadi 7 persen dan 8 persen.
Tarif tersebut ditentukan secara progresif dengan dasar besaran emisi yang dikeluarkan oleh masing-masing jenis mobil.
Skema kedua, untuk mobil jenis BEV tarif PPnBM masih sama 0 persen, sedangkan untuk PHEV menjadi 8 persen. Mobil full hybrid (pasal 26) pun naik jadi 10 persen (pasal 27), 11 persen (pasal 28), 12 persen (pasal 28).
Selain itu, skema kedua juga mengubah tarif PPnBM untuk jenis mild hybrid, yakni sebesar 12 persen hingga 14 persen.
Sri Mulyani menjelaskan, perubahan mekanisme antara skema I ke skema II akan dilakukan bila dalam dua tahun terjadi peningkatan realisasi investasi secara signfikan, yakni sebesar Rp 5 triliun di industri mobil BEV.
https://otomotif.kompas.com/read/2021/03/17/173100515/rencana-revisi-ppnbm-kendaraan-listrik-ini-kata-honda-dan-toyota