JAKARTA, KOMPAS.com - Jelang berakhirnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sampai saat ini belum ada kepastian resmi mengenai bagaimana nasib layanan ojek online (ojol) dan konvensional akan beroperasi di era new normal.
Apakah akan tetap seperti PSBB yang hanya boleh untuk mengantar barang, atau sudah diizinkan untuk membawa penumpang kembali ?
Tapi melihat potensi paparan Covid-19 serta tak memungkinkannya menerapkan jaga jarak antara pengendara dan penumpang di sepeda motor, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Pusat (MTI) Djoko Setijowarno, menyarankan pemerintah menggantikan peran ojol dengan transportasi alternatif lain.
"Berdasar kenyataan tersebut, kini saatnya bagi pemerintah untuk menata atau merancang kembali angkutan alternatif yang bisa untuk menggantikan peran ojek, dalam hal moda yang mampu menyediakan ruang dan jarak antar pengemudi dan penumpang," ujar Djoko dalam keterangan resminya, Selasa (2/5/2020).
Bahkan Djoko juga menyebutkan bila moda angkut alterbatif tersebut juga memungkinkan untuk mengaplikasi sekat pemisah secara permanen. Dengan demikian, masing-masing pihak, baik pengendara dan penumpang, dapat merasa terjaga kesehatannya.
Untuk jenis moda alternatif pengganti ojol atau opang yang dimaksud Djoko sebenarnya tidak sulit, bahkan sudah ada sejak lama, yakni kendaraan roda tiga yang akrab disapa bajaj.
"Kendaraan bajaj sangat mudah dipasang sekat permanan, sehingga tercipta sosial distancing kerena terpisahnya antara ruang penumpang dan pengemudi," kata Djoko.
Lebih lanjut Djoko menjelaskan, salah satu kelemahan bajaj saat ini hanya pada jumlah armada yang masih terbatas serta pembatasan wilayah operasional yang tidak leluasa. Namun dari segi keunggulan, bajaj memiliki potensi yang banyak.
Salah satunya mampu mengangkut penumpang sekaligus barang, memiliki rumah atau atap yang menjadikan pengemudi dan penumpang terlindungi dari panas atau pun hujan.
Dengan demikian, bajaj bisa disebut sebagi moda transportasi alternatif yang lebih manusiawi.
Djoko menjelaskan pemerintah hanya perlu menghilangkan batasan wilayah agar operasi bajaj lebih fleksibel.
Setelah itu mewajibkan untuk memasang sekat permanen, meteran penghitung ongkos (argometer), bahkan memungkinkan untuk menerapkan sistem pembayaran non-tunai hingga pemesanan secara daring.
"Hal tersebut tidaklah sulit untuk diterapkan, pemerintah bisa merangkul perusahaan penyedia atau produsen kendaraan, Organda, kalangan perbankan, dan sekaligus perusahaan penyedia aplikasi sistem pemesanan daring," ucap Djoko.
Bila pemerintah mengambil jalan ini, tantangan yang akan muncul kemungkinan besar datang dari pihak penyelenggara ojek saat ini.
Namun hal itu menurut Djoko masih bisa diatasi dengan pemberian kesempatan untuk melakukan konversi dari sepeda motor ke bajaj, atau mengembangkan transportasi becak nempel motor alias bentor yang banyak ditemui di Pulau Sumatera.
Djoko juga menyarankan pemerintah membentuk tim yang terdiri dari berbagai kementerian dan lembaga dengan syarat yang ketat.
Hal ini berguna untuk tidak saling mengambil keuntungan sektoral, sehingga dengan niat baik dalam rangka menerapkan angkutan yang sehat dan manusiawi serta modern dapat terwujud.
"Hal tersebut sangat perlu mengingat di masa pandemi hingga masa kebiasaan baru, peran angkutan umum masih tetap sangat vital. Karena itu pemerintah harus turun tangan membenahi dengan tujuan memberi jaminan kepada rakyat terkait ketersediaan angkutan umum yang sehat dan manusiawi, serta dengan tarif yang terjangkau," ujar Djoko.
https://otomotif.kompas.com/read/2020/06/02/141608415/lebih-manusiawi-ada-usul-ojek-online-diganti-bajaj-dan-bentor