JAKARTA, KOMPAS.com - Mulai 16 Maret 2020, Kementerian Perhuhungan (Kemenhub) resmi menaikan tarif ojek online di Jabodetabek. Untuk batas bawah menjadi Rp 2.250 per kilometer dan batas atas sebesar Rp 2.650 per kilometer.
Revisi tarif tersebut juga sudah disepakati oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Namun YLKI meminta agar pihak aplikator membenahi sistem kenyamanan dan keselamatan, terutama untuk mayarakat yang menjadi konsumen ojek daring.
"Kenaikan sebesar Rp 250 masih dalam tahap terjangkau, tapi demikian kami minta pihak aplikator untuk meningkatkan segi pelayanan dan keselamatan untuk konsumen. Kita sama-sama tahu kalau yang namanya sepeda motor itu adalah jenis transportasi yang tingkat safety-nya paling rendah, jadi harus diperhatikan itu," ucap Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, di kantor Kemehub, Selasa (10/3/2020).
"Di negara lain tidak ada motor yang dijadikan sebagai moda transportasi umum, jadi munculnya ojek online di Indonesia kami anggap sebagai kecelakaan sejarah karena kita terlambat merespon dan mewujudkan angkutan umum yang manusiawi," kata dia.
Tulus mengatakan, dengan tingkat keselamatan yang sangat rendah untuk motor, pihak aplikator harus bisa meningkatkan sisi keselamatannya, baik dari segi pelayanan atau pun jaminan seperti adanya asuransi.
Selain itu, dia juga mengingatkan kembali aplikator menyediakan fasilitas-fasilitas yang sebelumnya sudah diberikan untuk konsumen. Mulai dari masker sampai penutup kepala.
"Tidak ada komporomi untuk masalah safety di motor, kalau kita lihat korban kecelakaan motor ini masih jauh lebih besar dari virus corona. Lalu saat awal-awal masker dan tutup kepala diberikan, kini tidak. Jadi tolong disediakan lagi, kalau bisa justru ditingkatkan seperti menyediakan jas hujan yang layak, dan lainnya," ucap Tulus.
Untuk jaminan keselamatan tadi, Tulus menyarankan aplikator untuk menggandeng pihak asuransi. Karena berkecimpung dalam usaha transportasi, sudah sepantasnya merangkul Jasa Raharja.
Tak hanya itu, Tulus juga meminta pemerintah dan para driver ojol agar tak kerap melakukan demo untuk meminta kenaikan tarif. Hal tersebut dianggap sebagai kebijakan publik yang tidak sehat.
"Ke depan jangan lagi ada kenaikan tarif cuma karena adanya aksi demonstrasi, ini tidak sehat untuk kebijakan publik karena adanya tekanan dari massa, terutama driver-nya. Jadi para driver ini jangan menggunakan massa untuk menekan pemerintah dan masyarakat lagi, karena ini menjadi preseden buruk, kebijakan publik harus berbasis kerena kebutuhan," ucap Tulus.
https://otomotif.kompas.com/read/2020/03/10/160100515/ojek-online-harus-sediakan-masker-dan-penutup-kepala