KOMPAS.com - Medio Mei lalu, Yayuk, warga Surabaya yang sedang bertandang ke Jakarta berkesempatan menikmati Transjakarta bertenaga listrik.
Perempuan berkaca mata itu bersama puluhan orang lainnya ikut pra uji coba bus bertenaga listrik di kawasan Monas, Jakarta Pusat.
“Mungkin ini solusi untuk Jakarta agar lebih ramah lingkungan,” kata dia yang disiarkan KompasTV, Sabtu (18/6/2019).
Soal polusi udara, jagat maya sempat riuh membahas soal Jakarta merupakan salah satu kota dengan pencemaran terburuk di dunia pada akhir Juni lalu.
Jakarta disebut menempati peringkat empat setelah Dubai, New Delhi, dan Santiago, berdasarkan data hasil pemantauan AirVisual pada Selasa (25/6/2019). Pagi itu, indeks kualitas udara Jakarta mencapai angka 164, atau masuk dalam kategori tidak sehat (151-200)
Yayuk yang mengenakan kerudung putih itu mengaku senang bisa mencoba kendaraan bertenaga listrik. Apalagi, di Surabaya, kota domisilinya, belum ada bus berteknologi listrik.
Berbeda dengan armada Transjakarta yang berbahan bakar minyak ataupun gas, bus bertenaga listrik tidak memiliki knalpot sebagai saluran pembuangan sisa pembakaran.
Bus juga beroperasi nyaris tanpa suara karena tidak ada proses pembakaran untuk menghasilkan tenaga. Bus bergerak mengandalkan tenaga listrik yang tersimpan dalam baterai.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat itu memang mulai mencoba bus bertenaga listrik untuk dioperasikan di Ibu kota. Sebagai langkah awal, pra uji coba digelar di kawasan wisata Monas.
Direktur Operasional Transjakarta, Daud Joseph, menjelaskan kegiatan tersebut untuk mengenalkan angkutan massal berbasis teknologi listrik kepada masyarakat.
Penggunaan kendaraan bertenaga listrik merupakan satu di antara sekian langkah untuk mengurangi polusi udara Jakarta.
Komitmen pemerintah
Upaya merealisasikan kendaraan bertenaga listrik di Tanah Air kembali digaungkan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir, di Yogyakarta, pada Juni lalu.
Saat itu, Nasir menghadiri Dies Natalis Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ke-55. Pada kesempatan itu, ia bersama Rektor UNY, Sutrisna Wibawa, meluncurkan kendaraan bertenaga listrik “Garuda UNY”.
"Saat ini inovasi di bidang kendaraan listrik harus terus ditingkatkan. Saya berharap pada tahun 2025 nanti, kita sudah mampu memproduksi secara massal," kata Nasir dalam Kompas.com (25/6/2019).
Harapan itu tak sekedar ucapan manis yang keluar dari mulut seorang pejabat. Pemerintah menggelontorkan Rp 100 miliar setiap tahun untuk mendukung riset kendaraan listrik hemat energi dan menciptakan kendaraan bebas polusi.
Sejumlah universitas diajak meneliti dan mengembangkan kendaraan bertenaga listrik guna mewujudkan green economy di masa depan.
Jejak langkah pemerintah dalam mewujudkan kendaraan bertenaga listrik memang tak sebentar. Masih butuh satu tarikan napas panjang lagi supaya bisa membuka jalan bagi industri untuk mulai memproduksi kendaraan bertenaga listrik secara massal.
Tantangan
Pemerintah masih perlu berkolaborasi dengan sektor industri untuk menyiapkan kebutuhan suku cadang. Adapun kendala untuk merealisasikan kolaborasi itu adalah ketersediaan baterai.
Nasir menjelaskan, baterai memakan porsi sekitar 30 hingga 35 persen dari total biaya produksi listrik.
"Ini yang masih cukup signifikan nilainya. maka, bagaimana riset di bidang baterai harus kita kembangkan terus," ujar dia, sebagaimana dilansir Antaranews.com (21/6/2019).
Dalam pengembangan kendaraan bertenaga listrik saat ini, proses pengisian baterai masih membutuhkan waktu sekitar 8 jam.
Dengan daya baterai penuh, kendaraan bertenaga listrik diperkirakan bisa digunakan untuk aktivitas di dalam kota. Seperti halnya di China, kendaraan bertenaga listrik hanya digunakan di pusat kota.
Chaikal mengatakan saat ini Indonesia memiliki sumber bahan baku alias raw material baterai. Sementara itu, teknologi pembuatan baterai masih harus diambil dari luar.
Untuk itu, Indonesia bisa mengundang investor dari luar untuk mengembangkan dan memproduksi baterai untuk kendaraan bertenaga listrik. Langkah itu dinilai lebih efektif dan efisien dibandingkan mengimpor baterai utuh.
“Paling memungkinkan ya pihak industri dari luar diminta berinvestasi di sini untuk memproduksi baterai,” ujar dia kepada Kompas.com, Kamis (11/7/2019).
Selain bisa menekan biaya produksi, ia melanjutkan, industri dalam negeri juga bisa bergerak.
"Kita bisa punya nilai tambah lebih bagus. Dibandingkan hanya menjual raw material ke luar dan orang luar yang buat dan tenaga kerjanya juga orang sana," jelas Chaikal.
Dengan adanya industri baterai di dalam negeri, imbuh dia, tenaga kerja yang terserap bakal meningkat. Apabila, industri memproduksi kendaraan listrik berbasis baterai atau Battery Electric Vehicle (BEV), penyerapan tenaga kerja naik sekitar 0,21 persen.
Selain itu, Chaikal melanjutkan, Produk Domestik Bruto (PDB) nasional akan naik 0,36 hingga 0,5 persen.
"Itu lumayan positif," ia menegaskan.
Guna memenuhi kebutuhan bahan baku baterai, Menristekdikti mengatakan pemerintah telah menyiapkan kawasan industri terpadu yang memproduksi baterai kendaraan bertenaga listrik.
Adapun kawasan industri tersebut berlokasi di Halmahera, Maluku dan Morowali, Sulawesi Tengah. Nasir menegaskan, pemerintah menargetkan industri pengembangan baterai untuk kendaraan bertenaga listrik bisa mulai berproduksi pada 2021-2022.
"Kalau nanti di Morowali dan Halmahera sudah jadi, bahan baku dari situ. Maka, sudah ada baterai lokal dari Indonesia. Ini akan menghemat harga satu kendaraan mobil listrik," ujar dia.
Landasan pengembangan kendaraan bertenaga listrik
Dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah Indonesia menargetkan pengembangan kendaraan bertenaga listrik ataupun hibrida pada 2025 mencapai 2.200 unit mobil dan 2,1 juta unit sepeda motor.
Langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah selama ini, kian mendekatkan masyarakat Indonesia pada realisasi proyek kendaraan berteknologi listrik.
Chaikal Nuryakin mengatakan, target 20 persen kendaraan bertenaga listrik dari total produksi kendaraan di Indonesia sangat mungkin direalisasikan. Apalagi, ia melanjutkan, apabila pemerintah melakukan sejumlah strategi jitu.
Menurut dia, sosialisasi kendaraan berteknologi listrik perlu ditingkatkan agar masyarakat teredukasi. Misalnya, pemerintah mewajibkan para pengusaha untuk menyandingkan kendaraan bertenaga listrik dengan kendaraan konvensional di showroom kendaraan.
”Masyarakat berharap harga kendaraan listrik tidak lebih dari 1,1 kali harga kendaraan dengan mesin biasa. Bentuk insentifnya juga bisa ditambahkan dengan kebijakan diskon tarif listrik atau bebas ganjil genap atau bisa lewat busway,” ujar dia.
Satu hal yang tak kalah penting, ia melanjutkan, industri membutuhkan kepastian hukum pengembangan kendaraan bertenaga listrik. Sayangnya, sampai saat ini, regulasi yang dijanjikan terbit awal tahun lalu belum juga muncul.
Perjuangan mewujudkan impian memiliki kendaraan bertenaga listrik produksi dalam negeri memang belum usai. Upaya-upaya strategis mesti diambil guna mendukung pengurangan polusi udara dan penghematan energi lewat kendaraan bertenaga listrik.
India, Jepang, Thailand, Hongkong, bahkan Malaysia sudah lebih dulu mengembangkan kendaraan bertenaga listrik. Untuk itu, Indonesia perlu melongok negara-negara lain yang telah lebih awal bergerak dan mendukung pengembangan kendaraan bertenaga listrik dengan berbagai kebijakan.
India
Negara dengan populasi terbesar nomor dua dunia ini serius mengembangkan kendaraan bertenaga listrik.
Kompas.com (21/3/2019) melansir, jumlah penduduk negara ini mencapai 1,3 miliar pada 2017. Bahkan, PBB memprediksi jumlah populasi India bakal menyalip China pada 2027 mendatang.
Dengan populasi yang besar, India merupakan pasar otomotif terbesar kedua di Asia, setelah China. Sebagai pasar yang besar, India memiliki kebutuhan strategis.
Sejak 2013 pemerintah India menerbitkan kebijakan National Electric Mobility Mission Plan (NEMMP).
India menargetkan memproduksi mobil hibrida dan listrik sebesar 6 juta hingga 7 juta unit dengan level teknologi tertentu pada 2020.
Dukungan yang diberikan pemerintah negara itu untuk merealisasikan target tersebut yakni:
India memiliki program percepatan pembangunan industri otomotif berbasis listrik, dalam kerangka Faster Adoption and Manufacturing Electric/Hybrid Vehicle (FAME) sejak 2015.
Kedua, pemerintah India menargetkan 53 kota dengan populasi 1 juta jiwa lebih (konsensus 2011) mengadopsi industri kendaraan hibrida dan listrik.
Pemerintah India memberikan insentif kepada pembeli (konsumen) ke beberapa segmen kendaraan listrik, mulai dari auto rickshaw (bajaj), sepeda motor, skuter, mobil, kendaraan niaga ringan, hingga bus.
Dalam sembilan tahun terakhir, total tercatat 4,5 juta unit sepeda motor listrik terjual di India. Kendati demikian, pasar di India memang belum seluruhnya menerima produk kendaraan berteknologi listrik dan mobil hibrida.
Pada perkembangannya, salah satu produsen otomotif lokal di India memenangkan tender pemerintah untuk memasok 10.000 unit mobil listrik.
Tak cuma itu, pabrikan otomotif asal Korea Selatan tengah mempertimbangkan untuk merakit secara lokal mobil listriknya di India, pada 2019.
Produsen otomotif lokal pun mengumumkan telah menyiapkan dana 600 crore setara Rp 1,2 triliun untuk pengembangan kendaraan listrik di India.
Bahkan, sejumlah produsen otomotif asal Jepang telah mengumumkan kerja sama untuk mendorong penembangan mobil bertenaga listrik di India.
Malaysia
Pada 2020, pemerintah Malaysia menargetkan total populasi kendaraan bertenaga listrik yakni mobil 100.000 unit, sepeda motor 100.000 unit, dan bus 2.000 unit. Malaysia pun berambisi membangun 125.000 unit charging station.
Oleh karena itu, Malaysia memiliki kebijakan yang mendukung pengembangan kendaraan bertenaga listrik.
Pertama, pemerintah Malaysia membolehkan memberi pinjaman lunak senilai 7 miliar ringgit atau Rp 24,1 triliun untuk perusahaan yang ingin mengembangkan industri kendaraan bertenaga listrik di negara itu.
Selain itu, pemerintah Malaysia memberi tax holiday atau pembebasan pajak untuk perusahaan otomotif yang mau merakit lokal mobil hibrida dan listrik di Malaysia.
Pemerintah Malaysia pun menjalin kerja sama strategis dengan pabrikan kendaraan bertenaga listrik asal Amerika Serikat. Malaysia mengimpor 100 unit kendaraan untuk melakukan edukasi publik tentang kendaraan bertenaga listrik. Berbagai mobil berteknologi listrik murni pun mulai meluncur di Malaysia.
Thailand
Pemerintah Thailand menargetkan mendirikan 100 stasiun pengisian baterai dengan standar industri otomotif pada 2018.
Lantas, pada 2038, Thailand menargetkan jumlah populasi kendaraan hibrida dan listrik mencapai 1,2 juta unit.
Untuk itu, pemerintah Thailand pun menyiapkan sejumlah kebijakan pendukung.
Pada 2016-2017, memperkenalkan 20 bus listrik publik dan mengimpor 5.000 unit mobil listrik dengan kebijakan pembebasan pajak.
Langkah-langkah tersebut dilakukan sebagai upaya sosialisasi pada masyarakat. Dengan edukasi tersebut, pemerintah Thailand berharap masyarakat paham tentang teknologi kendaraan bertenaga listrik, sebelum mau beralih menjadi pengguna.
Thailand memasang target investasi 600 miliar baht atau setara Rp 255, 8 triliun pada 2017. Investasi tersebut dialokasikan untuk mengembangkan proyek kendaraan hibrida dan listrik.
Guna mendukung pengembangan kendaraan bertenaga listrik, Thailand membebaskan transaksi menggunakan nilai mata uang asing.
Iklim investasi juga dibuat semenarik mungkin dengan memberikan tax holiday pada Pajak Penghasilan Perusahaan. Kebijakan lain yang mendukung yakni penurunan impor duty (bea masuk) untuk barang modal (permesinan) dan bahan baku mentah.
Bahkan, pemerintah Thailand membebaskan pajak sama sekali khusus untuk impor bahan baku mentah yang nantinya diekspor.
Pada 2018, salah satu pabrikan otomotif asal Eropa telah mengumumkan berinvestasi untuk memproduksi Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) di Thailand.
Salah satu perusahaan otomotif asal Jepang mulai mengimpor mobil listrik murninya untuk dijual ke konsumen di Thailand. Produsen otomotif ini memanfaatkan insentif pajak yang diberikan pemerintah Thailand.
Nah, melihat upaya-upaya strategis negara-negara lain dalam mengembangkan kendaraan bertenaga listrik, bukan tak mungkin Indonesia juga mengambil langkah-langkah serupa.
Kepastian hukum dan kebijakan yang kondusif bagi investor saat ini sangat dinanti demi pengembangan kendaraan berteknologi listrik. Dengan begitu, Indonesia bukan cuma sebagai penonton, tetapi juga bisa menikmati manfaat ekonomi dengan adanya industri kendaraan bertenaga listrik.
https://otomotif.kompas.com/read/2019/08/14/090000515/negara-negara-ini-kembangkan-kendaraan-bertenaga-listrik-apa-faedahnya-