Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengulangan Pelanggaran Massal di JLNT dari Kacamata Psikolog

Jakarta, KOMPAS.com – Pelanggaran yang dilakukan pesepeda motor yang melintasi jalan layang non tol (JLNT) di Casabalnca, kembali terjadi. Tidak satu dua saja, tapi puluhan atau mungkin saja sampai ratusan pengendara sepeda motor, seperti sebagian yang tampak pada video yang viral.

Kepala Subdit Pembinaan dan Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Budiyanto mengatakan sebelumnya, petugas kepolisian hanya berhasil menindak 75 biker padahal ada lebih banyak lagi pelanggar, karena keterbatasan jumlah penindak.

Ini juga bukan kali pertama video viral soal pelanggaran pesepeda motor di JLNT beredar dan jadi perbincangan, tapi masih saja terulang.

Terkait hal tersebut, Erita Narhetali, Psikolog Universitas Indonesia mengungkapkan, kalau pengulangan pelanggaran secara massal yang dilakukan pesepeda motor, tidak tergolong sebagai sebuah masalah kejiwaan.

“In my opinion, ini bukan (belum, semoga) sampai jadi masalah kejiwaan,” kata Erita menjawan pertanyaan Kompas.com beberapa waktu lalu. Dirnya kemudian coba mengungkapkan mengapa pelanggaran massal tersebut bisa terjadi.

Penyebabnya

“Ini kemungkinan terjadi karena beberapa hal, seperti yang pertama, pengendara menderita bias kognitif yang disebut overconfidence effect, di mana antara kondisi dilema ditangkap versus tidak ditangkap, dia merasa probabilitasnya untuk tidak ditangkap akan lebih besar daripada sebaliknya. padahal mereka salah,” ujar Erita kepada Kompas.com, Selasa (27/2/2018).

Erita menambahkan, menurut dugaannya (tergantung kondisinya) jika ada saja satu pelanggar maka mudah sekali perilakunya diikuti pelanggar lainnya. Ini juga masuk dalam kondisi bias kognitif yang disebut “bandwagon effect”.

“Bias di mana keputusan yang diambil didasari bahwa orang lain juga sudah mengambil keputusan yang sama, jadi dia ikuti, padahal dia tahu itu salah,” kata Erita.

Selanjutnya kata Erita, bias-bias tersebut akan diperparah pada kondisi di mana mekanisme reward dan punishment tidak bekerja secara konsisten. Artinya, tidak ada sistem yang memastikan jalan itu tidak bisa dilewati pesepeda motor, baik dalam bentuk fisik (misalnya pemasangan portal) atau berbentuk penjagaan terus menerus.

“Mereka akan ‘belajar’ bahwa melanggar JLNT itu oke saja, ini masih dalam kategori masalaj standard,” ujar Erita.

Erita menuturkan, selain karena dorongan masalah lain seperti harus cepat sampai ke kantor, atau mencari jalan lain yang tidak macet, ada juga yang memang menyukai adrenaline booster-nya saja (melanggar aturan).

“Namun yang perlu dipahami barangkali adalah ketika membuat aturan, pastikan perilaku manusianya diperhitungkan. Artinya, dia akan terinsentif melakukan pelanggaran itu karena pilihan tersebut dianggap lebih menguntungkan buat dia,” kata Erita.

Solusi

Terkait dengan solusinya Erita mengatakan sederahana, “Kalau aturan susah ditegakkan (menjaga konsistensi setiap pelanggaran pasti ditindak), idealnya intervensi dilakukan secara fisik seperti jalan tol. Maksudnya secara desain fisik dibuat tidak mungkin (dilewati sepeda motor) bukan secara aturan,” kata Erita.

https://otomotif.kompas.com/read/2018/03/04/083500415/pengulangan-pelanggaran-massal-di-jlnt-dari-kacamata-psikolog

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke