Usai berkeliling di ajang GIIAS 2017, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, sepertinya masing-masing produsen sudah siap dengan kedua teknologi itu. Namun dari sisi logika, hibrida bakal lebih banyak dipilih.
"Karena tidak membutuhkan tambahan infrastruktur, dan menurut saya juga seperti itu, jadi nanti yang paling banyak mungkin ke arah itu," ujar Airlangga di ICE, BSD, Tangerang, Kamis (10/8/2017).
Mobil listrik itu sendiri, kata Airlangga, butuh infrastruktuk penunjang lain sebelum bisa dinikmati langsung oleh konsumen. Salah satunya, kebutuhan tempat pengisian, sampai pengelolaan limbah baterai yang sudah usang.
Baca: Nissan Indonesia Sudah Punya Jagoan buat Progam LCEV
Selain itu, teknologi hybrid, masih memanfaatkan mesin yang ada saat ini, sehingga tak mengabaikan investasi yang sudah dikeluarkan merek-merek di Indonesia dengan nilai besar.
Mengenai harga, setiap merek yang ikut program LCEV akan diberikan insentif, sehingga bisa lebih terjangkau. Bentuknya, bisa berupa bea masuk, hingga pajak barang mewah (PPnBM).
"Tergantung merek itu akan memilih skema yang mana. Kita siapkan berbagai skema, seperti CBU (completely built up), IKD (Incompletely knocked down), atau CKD (completelty knocked down)," kata Airlangga.
Sekarang ini, pihak Kementerian Perindustrian sedang berdiskusi dengan instansi terkait lainnya untuk merumuskan regulasi tersebut. Selain hibrida dan mobil listrik, program LCEV juga akan menawarkan insentif buat teknologi lain, seperti gas, dan teknologi terbarukan.
"Banyak kementerian yang kita libatkan di sini, tetapi untuk diterbitkannya kami usahakan dalam waktu dekat," kata Menperin.
https://otomotif.kompas.com/read/2017/08/10/130944215/hibrida-lebih-mudah-berkembang-dibandingkan-mobil-listrik