JAKARTA, KOMPAS.com - Program penyeragaman harga jual resmi bahan bakar minyak (BBM) jenis bahan bakar penugasan (Premium/RON 88) Rp 6.450 per liter dan jenis bahan bakar tertentu (Solar) Rp 5.150 per liter ke daerah-daerah pelosok Indonesia dilanjutkan hingga 2024.
Sejak dilaksanakan pada akhir 2016, program yang akrab disapa BBM Satu Harga ini dinilai sangat signifikan dalam membantu daerah dan masyarakat pada wilayah tertinggal, terdepan, dan tertular (3T).
Oleh sebab itu, atas dasar Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 36 Tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga JBT dan JBKP secara Nasional, Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BPH Migas) akan terus menjalankan program tersebut hingga tercipta 500 lembaga penyalur di akhir 2024.
"Sesuai arahan Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM Ignasius Jonan lewat Permen ESDM No 36 Tahun 2016, kebijakan ini akan tetap dilanjutkan hingga 2024," ujar Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa, Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Baca juga: Harga BBM di Indonesia Termahal dengan Kualitas Terendah
"Akan ada penambahan sebanyak 330 titik penyalur dalam lima tahun ke depan," katanya lagi.
Penambahan itu akan terbagi dalam lima tahap, dimana pada 2020, ditargetkan sebanyak 77 penyalur baru diresmikan. Setahun setelahnya, harus bertambah 77 penyalur baru. Sedangkan pada 2022, targetnya menjadi 73 penyalur, pada 2023 sebanyak 60 penyalur, dan 2024 targetnya sebanyak 43 penyalur.
Sebagai informasi, saat ini (per 20 Agustus 2019), tercatat sudah ada 167 titik lembaga penyalur BBM Satu Harga dari target sebanyak 170 titik lembaga penyalur hingga akhir 2019. Dari total titik penyalur yang ada, sudah diresmikan 144 titik lembaga penyalur.
Sedangkan sisa 3 titik lembaga penyalur ini direncanakan bakal selesai pada akhir September 2019 mendatang.
Baca juga: Jonan: BBM Satu Harga Tidak Bebani APBN
Pada kesempatan terpisah, Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan bahwa program BBM Satu Harga tidak bertolak belakang dengan target pemerintah untuk tidak tergantung dengan energi fosil. Samun, bauran energi cukup memakan waktu.
"Targetnya di 2025 adalah 23 persen, 2030 jadi 30 persen, lantas di 2050 jadilah 50 persen. Sedangkan dari saat ini, 2019 sampai 2050 itu 31 tahun, lewat generasi berikutnya. Ini tetap harus ada penyediaan BBM, karena ini transisi. Analoginya, kalau ada yang bertanya kenapa harus mandi tapi nanti kotor lagi? Ya tetap harus mandi dong, masa mandinya 5 tahun sekali, kan tidak begitu," kata Jonan.
Lantas, demi mengurangi ketergantungan impor BBM pemerintah pun sedang menjalankan program perluasan penggunaan CPO (Crude Palm Oil) 20 persen atau B20 menjadi B30, B50, bahkan B100.
"Program Ini ampuh, karena konsumsi solar kita 30 juta kilo liter setahun, kalau dicampur FAME 20%, berarti hemat 6 juta kilo liter," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.