Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penerapan ERP di Kalimalang, Daan Mogot dan Margonda Masih Dikaji

Kompas.com - 22/11/2019, 07:12 WIB
Stanly Ravel,
Aditya Maulana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Rencana Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menerapkan electronic road pricing (ERP) di tiga ruas jalan penghubung Jakarta, sampai saat ini diklaim masih dalam tahap pembahasan dari berbagai skema pendukung.

Kepala BPTJ Bambang Prihartono, mengatakan meski ditargetkan bisa berjalan pada 2020, namun implementasi sendiri masih bergantung pada pembahasan yang sampai saat ini terus dijalankan.

"Pembahasan menyangkut skema pendukung sudah dimulai beberapa bulan lalu di antaranya melalui focus group discussion (FGD) bersama semua stakeholder terkait, termasuk dengan pemerintah daerah," ucap Bambang dalam keterangan resminya, Kamis (21/11/2019).

Baca juga: Apa Kabar ERP di Jalanan Jakarta?

Setelah FGD, pembahasan berlanjut lebih spesifik baik dengan instansi lain maupun internal bersama tenaga ahli. Skema-skema pendukung yang dibahas di antaranya meliputi skema hukum, skema kelembagaan, skema pembiayaan, maupun skema teknik.

Gerbang jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2014)KOMPAS.COM/PRAVITA RESTU ADYSTA Gerbang jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2014)

Bambang menjelaskan penerapan ERP yang akan diimplementasikan sesuai dengan lingkup kewenangan BPTJ pada area perbatasan antar wilayah yang merupakan jalan nasional. Hal ini berbeda dengan penerapan yang dicangankan Pemprov DKI di jalan-jalan dalam wilayahnya.

Bambang menjelaskan bila sistem jalan berbayar bukan hanya sudah menjadi amandat dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ), namun kebijakannya saat ini dirasakan sudah mendesak mengingat pertumbuhan pergerakan di Jabodetabek yang luar biasa.

"Pada tahun 2015 pergerakan manusia di Jabodetabek tercatat masih sekitar 47,5 juta pergerakan per hari, maka data tahun 2018 menyebut pergerakan sudah meningkat menjadi 88 juta pergerakan per hari. Dari 88 juta pergerakan per hari, hanya sekitar 8 persen yang menggunakan angkutan umum untuk tujuan aktifitas ke tempat kerja dan rutinitas lainnya,"kata Bambang.

Baca juga: Dibandingkan Ganjil Genap, Jalan Berbayar Diklaim Lebih Efektif

Ilustrasi kemacetan JakartaSHUTTERSTOCK Ilustrasi kemacetan Jakarta

Sementara itu kebijakan ganjil genap yang diterapkan untuk mengendalikan kemacetan, dianggap tidak mungkin efektif selamannya. Oleh karena indikasi yang muncul adalah kemacetan akan meningkat pada jam-jam dan waktu tertentu terutama di ruas-ruas jalan yang menjadi rute komuter para pengguna kendaraan pribadi.

Untuk pembahasan menyangkut skema hukum sendiri, menurut Bambang memang sampai saat ini belum menemukan solusi payung hukum yang sesuai untuk penerapan ERP di jalan nasional.

Baca juga: Daihatsu Respons Positif Penerapan Jalan Berbayar di Jakarta

Sebab, bila mengacu pada PP Nomor 32 tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak serta Manajemen Kebutuhan Lalu-Lintas, implementasi ERP memang tidak dimungkinkan di jalan nasional.

Kepadatan kendaraan di tol dalam kota di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (7/5/2013). Persoalan kemacetan menjadi persoalan yang mendera Jakarta karena pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan penambahan infrastruktur jalan.
KOMPAS/PRIYOMBODO Kepadatan kendaraan di tol dalam kota di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (7/5/2013). Persoalan kemacetan menjadi persoalan yang mendera Jakarta karena pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan penambahan infrastruktur jalan.

Tapi hal ini justru dianggap perlu untuk dipecahkan, karena pada kenyataannya, kondisi yang berkembang di Jabodetabek menuntut adanya implementasi jalan berbayar pada ruas-ruas jalan nasional.

"Kami terus berupaya untuk memecahkan masalah menyangkut skema hukum ini dan secara paralel kami juga membahas skema-skema lain seperti skema pembiayaan, skema teknis ataupun skema kelembagaan, sehingga jika nanti skema hukum terpecahkan, sudah tersusun formula kebijakan yang siap diimplementasikan," ujar Bambang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau