Jakarta, KompasOtomotif – Pertamina menjadi kambing hitam, terkait dengan keterlambatan Indonesia menetapkan standar Euro IV. Kesiapan kilang untuk memproduksi bahan bakar yang memenuhi spesifikasi, jadi andalan Pertamina untuk berkilah.
Setelah ditandatangani 10 Maret 2017 lalu, aturan Euro IV bakal berlaku efektif September 2018 untuk mesin bensin dan Maret 2021 untuk mesin diesel. Pertamina akhirnya dipaksa untuk impor, demi memenuhi kebutuhan itu, pasalnya upgrade kilang disebut-sebut baru rampung pada 2025.
Menanggapi hal tersebut, Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menyatakan kekecewaannya. Dirinya mengatakan, Indonesia sebenarnya bisa bebas ketergantungan impor produk BBM, sepanjang rajin me-review kondisi kilang, agar mampu meng-upgrade-nya, sehingga mampu hasilkan produk yang memenuhi kebutuhan mesin kendaraan secara up to date.
“Sejak tahun 2000, kami telah mengingatkan agar Pertamina dan pemerintah mengupayakan membangun, up-grade dan modifikasi kilang, sehingga mampu memenuhi kebutuhan teknologi otomotif,” ucap Safrudin kepada KompasOtomotif, Rabu (5/4/2017).
Safrudin melanjutkan, keengganan untuk membangun tersebut yang menyebabkan Pertamina tak mampu penuhi kebutuhan teknologi kendaraan bermotor Euro IV, dan terkait alasan pendanaan, disebut Safrudin tidak mendasar.
“Sebuah perusahaan besar seperti Pertamina, tentu memiliki akuntansi pembiayaan yang sangat cermat dan canggih, berikut manajemen keuangan yang efektif, dan seharusnya mampu mengelola depreciation cost atas kilang-kilang. Jadi ketika kilang tersebut sudah habis umur ekonomisnya, maka Pertamina telah memiliki cadangan biaya penyusutan (accumulated depreciation cost) yang mampu digunakan membangun kilang baru tanpa tergantung kepada kreditur,” kata Safrudin, menjelaskan.
2014 lalu, Pertamina menandatangin memorandum of understanding (MoU) Refining Development Master Plan (RDMP) dengan tiga mitra strategis, Saudi Aramco, China Petroleum Chemical Corporation (Sinopec), serta JX Nippon Oil & Energy Corporation.
Suntikan dana yang digelontorkan mencapai 25 dolar AS atau setara dengan Rp 333 triliun (nilai tukar Rp 13.327). Fase pertama baru dimulai pada 2018 dan rampung di 2022 untuk Balongan, Cilacap, Balikpapan, serta Plaju. Sementara itu, kilang Dumai akan ditingkatkan kapasitas produksinya pada fase kedua, yang dimulai 2021, dan berakhir 2025.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.