TANGERANG, KOMPAS.com - Kasus kecelakaan yang melibatkan truk tergolong masif di Indonesia. Padahal, jumlah populasi truk cuma seperempat dari populasi mobil.
Ketua Subkomite Lalu Lintas Angkutan Jalan Komite KNKT Ahmad Wildan mengatakan, mayoritas kecelakaan yang melibatkan truk terjadi karena kesalahan manusia (human error) atau dalam hal ini sopir.
“Populasi kendaraan terbanyak nomor satu sepeda motor, kedua mobil, ketiga bus dan keempat truk. Jumlah kecelakaan terbanyak nomor satu motor tapi yang kedua ialah truk,” kata Wildan di ICE BSD City, Tangerang, Kamis (25/7/2024).
Tingginya angka kecelakaan truk saat ini dinilai karena industri transportasi kekurangan pengemudi profesional. Sopir terutama sopir bus dan truk mestinya memiliki pengetahuan dan kompetensi yang formal.
Wildan mengatakan, tak sedikit sopir truk mengemudi tanpa dibekali ilmu yang cukup. Artinya, keahlian mengemudi yang diterapkan hanya sebatas pengalaman bukan dari pelatihan terstruktur.
Salah satu alasannya ialah karena perusahaan tempat sopir bekerja tidak melihat pengemudi sebagai aset perusahaan yang perlu dibangun.
“Pengemudi bukan dilihat sebagai aset ekonomi oleh perusahaan, melainkan sebagai beban ekonomi. Sopir sudah dibayar berarti harus kerja. Mau sekolah atau ke dokter bukan urusan perusahaan,” ujarnya.
“Perusahaan hanya mau bayar orang yang siap kerja. Jadi itu masalah pola pikir ini yang keliru, dan ini terjadi di banyak tempat,” ujar Wildan.
Wildan mengatakan, ini jadi masalah besar transportasi Indonesia. Perusahaan perlu meningkatkan kemampuan sopir sebab sopir harus paham konsep safety driving dan berkendara defensive driving.
“Pengemudi kita ketinggalan jauh karena tidak pernah di-update. Pengemudi harus diajarkan bagaimana kecelakaan terjadi. Itu yang harus dikenalkan kepada pengemudi kita," ujar Wildan.
https://otomotif.kompas.com/read/2024/07/27/074200415/sopir-truk-kurang-ilmu-karena-dianggap-beban-bukan-aset