Jakarta, KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia sudah memberlakukan regulasi baru soal standar emisi kendaraan bermotor di Indonesia. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017, tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O.
Kendaraan bermotor kategori M, didefinisikan sebagai mobil penumpang. Kategori N, merupakan kendaraan niaga pengangkut barang dan O adalah truk penarik, gandeng, atau tempel.
Semangat Euro IV tercetus, salah satunya karena Indonesia punya komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020 di Pittsburgh, 25 September 2009. Waktu itu komitmen disampaikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebetulnya, regulasi ini merupakan hal yang positif. Masalahnya, hampir semua negara maju di dunia, bahkan sudah mengaplikasi standar Euro IV, Euro V, bahkan Euro VI di beberapa negara Eropa. Enggak usah jauh-jauh, di Malaysia saja standar Euro IV, sementara Singapura sudah Euro VI. Jadi, Indonesia mau mengejar ketertinggalan, ceritanya.
Tapi, peraturan ini dikeluarkan dalam situasi yang tidak tepat, jauh dari kata ideal. Ujungnya, yang dirugikan adalah konsumen, masyarakat itu sendiri. Mengapa demikian?
Akses Terbatas
Jadi begini, dalam Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2017 itu, dijelaskan kalau mesin bensin minimal mengonsumsi bahan bakar minyak (BBM), dengan RON minimal 91, kandungan timbal (Pb) minimum tidak terdeteksi, dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm, agar sesuai standar Euro IV.
Adiatma Sardjito, Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), menjelaskan, jika mengacu pada peraturan, maka jenis BBM Pertamina yang memenuhi standar emisi Euro IV baru Pertamax Turbo. Artinya, Pertalite, Pertamax, apalagi Premium bukan pilihan.
Pertamax Turbo itu diluncurkan Pertamina, menggantikan Pertamax Plus yang sebelumnya posisinya selevel di atas Pertamax. Pihak Pertamina menyatakan, Pertamax Turbo punya kadar RON 98 dengan Ignition Boost Formula (IBF), sementara oktan Pertamax Plus hanya RON 95.
Pergantian posisi ini dilakukan Pertamina, setahun sebelum regulasi Euro IV terbit atau sekitar semester kedua 2016. Entahlah, tapi seperti ada skema strategi yang diciptakan di sini. Pasalnya, dari segi harga, Pertamax Turbo jauh lebih mahal ketimbang Pertamax Plus, meskipun memang diklaim lebih berkualitas. Posisi harga Pertamax Turbo di SPBU saat ini Rp 12.250 per liter.
"Jadi kalau sekarang memang masih itu (Pertamax Turbo). Penyebarannya juga akan coba kami perluas lagi ke seluruh SPBU kami," ujar Adiatma, dikutip Kompas.com (26/10/2018). Menurut dia, Pertamax Turbo diproduksi di kilang Balongan, maka penyebarannya pun lebih banyak di sekitar Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, tetapi akan coba diperluas lagi agar masyarakat bisa membeli BBM tersebut.
Bagi warga yang hidup di Ibu Kota dan sekitarnya, mungkin sudah tidak asing mendengar Pertamax Turbo di SPBU Pertamina. Tapi, coba bagi masyarakat di daerah. Tak perlu jauh-jauh ke Kalimantan atau Sumatera, sepanjang Jalur Pantura saja, berapa SPBU yang menyediakan BBM termahal kedua Pertamina, di bawah Pertamax Racing ini?
Jadi, poin pertama kerugian masyarakat atau konsumen adalah, akses yang terbatas, baik dari segi harga atau wilayah distribusi, untuk memilih BBM dengan standar Euro IV. Ingat, regulasi Euro IV, berlaku nasional, jadi di seluruh Indonesia sudah wajib implementasi, bukan hanya Jakarta dan sekitarnya!
Harga Mobil Naik
Menurut Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian LHK Karliansyah, bleid standarisasi Euro IV ini bukan hanya mencakup penggunaan bahan bakar saja. Tetapi juga teknologi kendaraan bermotornya. “Makannya, teknologinya harus menyesuaikan,” kata Karliansyah, dikutip Katadata (21/4/2018).
Apa yang disampaikan Dirjen Karliansyah ini langsung disambut responsif oleh para agen tunggal pemegang merek (ATPM) otomotif di Indonesia. Terutama, mereka yang merakit kendaraan di pabrik Indonesia, sebut saja Daihatsu, Toyota, dan Mitsubishi. Sesuai regulasi, semua mobil bermesin bensin yang diproduksi setelah 1 Oktober 2018, wajib memenuhi standar emisi Euro IV.
Salah satu faktornya, adalah diperlukan komponen tambahan berupa catacytic converter di sistem pembuangan, sehingga kendaraan yang tadinya berstandar Euro II diubah jadi Euro IV. Komponen tambah, otomatis harga juga lebih mahal. Kenaikannya beragam, mulai ratusan ribu sampai jutaan rupiah.
Lantas, beban kenaikan ini siapa yang menanggung?
Kita masuk ke poin kedua, konsumen dan masyarakat lagi yang harus menanggung beban harga yang lebih tinggi pada kendaraan baru, karena ada penyesuaian dengan standar Euro IV.
Biaya Kerusakan Mengintai
Sudah dua poin beban yang harus diterima konsumen dan masyarakat, masih ada satu lagi. Poin ini berhubungan dengan kesanggupan Pertamina, dalam menyediakan BBM berstandar Euro IV, bukan dalam tahun ini.
Sebagai perusahaan pelat merah yang punya kuasa memonopoli eksploitasi minyak mentah dan distribusi BBM di Indonesia, Pertamina punya tanggung jawab besar dalam kesuksesan pemberlakuan standar emisi Euro IV.
"Kilang kita yang memproduksi bahan bakar yang sesuai dengan Euro IV baru di Balongan, dan sampai 2021 semua kilang kita sudah bisa memproduksi sehingga menjadi lebih merata, dan sekarang sudah mulai perbaikan di setiap kilang," ujar Adiatma.
Pertamina butuh waktu tiga tahun (sampai 2021) untuk menyediakan varian lain BBM, yang mampu memenuhi standar emisi Euro IV. Baru setelah itu, semua BBM yang diproduksi Pertamina bakal punya standar Euro IV.
"Untuk kilang lainnya sedang ditingkatkan standarnya agar bisa memproduksi BBM dengan standar emisi Euro IV," kata Adiatma. Jadi, selama tiga tahun ke depan. Masyarakat dipaksa mengonsumsi BBM non-standar, padahal mobil sudah punya mesin Euro IV.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia ( Gaikindo) Kukuh Kumara, mengatakan, konsumen hanya akan jadi korban karena ketidaksiapan pemerintah dalam implementasi standarisasi Euro IV. Kerugian juga siap mengintai di ujung jalan, kalau ketersediaan BBM standar Euro IV tidak kunjung merata.
"Kalau bahan bakarnya tidak tersedia secara merata, yang jadi korban konsumen atau pemilik kendaraannya itu sendiri," ujar Kukuh kepada Kompas.com, Jumat (26/10/2018).
Secara spesifikasi teknis, memang dampak yang ditimbulkan mobil berstandar Euro IV tetapi mengonsumsi BBM di bawahnya, bersifat jangka panjang. Meski begitu, kata Kukuh, nama baik produsen mobil bisa menjadi buruk di mata konsumen, karena kendaraan bisa saja kemudian mogok di jalan karena menenggak BBM tidak sesuai standar.
Sapta Agung Nugraha, Service Head Auto2000 cabang Pramuka, Jakarta, mengatakan, mesin dengan standar Euro IV, semestinya mengonsumsi BBM dengan RON 95 ke atas. Level kompresi yang tinggi, yakni 11:1, menjadikan pembakaran jadi lebih sempurna. Jika dipaksa mengonsumsi BBM di bawah itu, maka akan terjadi efek buruk, dalam jangka waktu panjang.
“Pembakaran menjadi kurang maksimal dan efek jangka panjangnya, bisa menimbulkan kerak karbon yang lebih banyak, sehingga yang dirasakan mesin menjadi ngelitik (knocking) dan lebih boros BBM,” kata Sapta.
Poin ketiga, kalau saja, dalam tiga tahun (sampai 2021), ketika Pertamina baru bisa menjamin ketersediaan BBM standar Euro IV di seluruh Indonesia, mobil konsumen rusak. Harus turun mesin misalnya, atau sekedar membersihkan ruang bakar (carbon cleanning), biaya yang dikeluarkan ditanggung siapa? Konsumen atau masyarakat lagi.
Apalagi dalam tiga tahun, konsumsi Pertamax Turbo seharusnya meningkat signifikan, karena tidak ada pilihan lain BBM standar Euro IV di pasar selain yang distribusikan perusahaan migas asing, seperti Sheel atau Total.
Kesimpulan
Jadi, regulasi standarisasi Euro IV ini ibarat, “Jebakan Batman” buat konsumen atau masyarakat. Maju kena, mundur juga kena.
Alangkah baiknya, jikalau pemerintah menyiapkan dengan matang, seluruh stakeholder di bidang ini, mulai dari Kementerian KLH, Pertamina, ATPM (merek mobil) dipastikan siap, sebelum regulasi meluncur. Kalau BBM sudah tersedia, mobil sudah punya standar yang sama, baru kemudian Kementerian mengeluarkan regulasi, sehingga konsumen dan masyarakat tidak seolah sengaja dikorbankan.
Salam, Euro IV!
https://otomotif.kompas.com/read/2018/10/31/072200215/sekarang-standar-emisi-euro-iv-itu-seperti-jebakan-batman