KOMPAS.com - Pernah mendengar mitos soal hujan cakalang? Bagi mereka yang berencana untuk bepergian ke wilayah timur di Indonesia, mungkin cerita semacam ini menjadi salah satu yang disebut-sebut.
Mendengar hujan ikan yang masih satu keluarga dengan tuna ini, rasanya mungkin seperti sebuah mitos.
Namun, cerita tersebut coba dicari tahu oleh tim Terios 7 Wonders yang pada 2017 ini menggunakan Terios mereka di wilayah Maluku, tepatnya di Ternate, Maluku Utara.
Setelah mengelilingi sebagian Ternate, tim pada Sabtu (15/7/2017) pukul 02.00 dini hari bersiap berangkat ke wilayah laut lepas Maluku.
Mereka menumpang kapal nelayan Kapal Motor Ikan (KMI) Virgo yang dipimpin Kapten Salamat.
Tim sempat mendengar selentingan soal klenik sebelum ritual yang disebut hujan cakalang itu bisa didapatkan. Setelah ditelusuri, klenik itu rupanya merupakan ritual doa dari sang kapten sebelum kapalnya berangkat.
"Dulu doa di pinggir laut, sekarang di rumah. Intinya meminta perlindungan sama Yang di Atas agar selamat dan tangkapannya banyak. Kalau enggak doa itu, memang seret tangkapannya. Ibaratnya ikan enggan menempel di kapal. Itu banyak terjadi," ujar sang kapten.
Kapal pun lepas tali pengikat saat langit masih hitam dan belum berbagi warna kemerahan sekalipun.
Kapal kayu ini sendiri umum digunakan para nelayan di Maluku untuk mencari ikan. Namun, meski sudah mengandalkan motor penggerak, di sana tidak ada jala. Yang ada hanya sejumlah alat sederhana berupa bilah-bilah bambu.
Kapal dengan 18 awak itu melaju menuju sebuah titik di dekat Pulau Hiri.
Umpan itu sendiri adalah ikan-ikan kecil yang dikumpulkan dari sekitar pantai atau pinggir laut. Semua ditaruh di tengah-tengah lambung kapal yang dibuat seperti sebuah kolam sehingga umpan-umpan ini masih dalam kondisi hidup.
Ketika laut lepas sudah membawa pergi hingga sejauh empat jam perjalanan, mereka tiba di titik yang dituju.
Sesuai aba-aba, lantas awak kapal mulai menjulurkan bambu-bambu tadi yang menjadi alat pancing.
"Boy-boy" kemudian menebar umpan hidup, sementara rekannya ada yang bertugas membuat buih dengan siraman air dari selang untuk menipu ikan-ikan sebagai umpan, sampai akhirnya hujan cakalang yang jadi mitos itu terjawab.
Cakalang-cakalang dari laut Maluku Utara yang merupakan perenang gesit itu tanpa sadar menggigit mata pancing. Nelayan yang duduk tepi palka dengan mudah menariknya sampai melayang melewati punggung mereka lalu mendarat di dek kapal.
"Jadi begitu ikan jatuh ke dek, langsung terbuka mata kailnya. Kalau kita memancing kan biasanya tersangkut di mulut ikan. Ini langsung copot. Lalu mata kail ditarik lagi ke laut untuk menangkap ikan lagi," tutur Toni dari tim Terios 7-Wonders.
Pemandangan yang terus-menerus seperti itulah yang pada akhirnya menunjukkan momen hujan ikan cakalang. Ikan-ikan ini terlempar dan beradu dengan papan kayu sehingga menimbulkan suara tumbukan yang berlanjut ibarat bulir-bulir hujan yang akan deras.
Nelayan di Maluku Utara sudah melakukan hal ini secara turun-temurun tanpa memakai alat penangkap ikan yang membahayakan lingkungan. Dengan cara ini pun, toh mereka tetap kehujanan ikan cakalang.
"Belum pernah kebayang cara nelayan lokal memancing di laut lepas. Ini jadi pengalaman menarik, bisa ikut memancing cakalang di Ternate," ujar Haga Sembiring, perwakilan dari Daihatsu yang turut dalam tim Terios 7-Wonders.
Kelurahan yang Senyap
Selepas menjawab sendiri mitos hujan ikan cakalang, tim Daihatsu 7 Wonders kembali melanjutkan perjalanannya ke Maluku melalui pelabuhan Sofifi.
Tim kembali mengendarai SUV-SUV tujuh penumpang mereka itu untuk menyeberang dengan kapal feri.
Mobil pun tidak tersangkut saat naik ke badan kapal karena tinggi bodinya sekitar 20 cm sehingga perlahan bisa terparkir rapi di atas dek.
Kapal lantas membelah laut Maluku Utara hingga Sofifi yang diperhitungkan memakan waktu 4-5 jam.
Tim akhirnya tiba pada sore hari di wilayah yang kini menjadi ibu kota provinsi itu.
Namun, meski jadi ibu kota provinsi, tempat tersebut tidak begitu ramai. Hal ini cukup beralasan mengingat sejatinya Sofifi adalah sebuah kelurahan.
Becak motor atau bentor terlihat sesekali lewat di sana sebagai salah satu angkutan andalan, di luar mobil angkot.
"Lumayan sepi, padahal ini ibu kota Provinsi Maluku Utara. Sepi banget. Mobil sedikit. Bangunan-bangunan pemerintah baru dibangun. Jadi membayangkan kalau ibu kota jadi pindah ke Palangkaraya," ujar Toni.
https://otomotif.kompas.com/read/2017/07/16/091300015/mitos-hujan-ikan-dan-ibu-kota-yang-senyap