KOMPAS.com - Empat ratus tahun lalu tidak ada yang boleh merengkuh remah-rempah wilayah Timur Indonesia untuk dijual kepada siapa pun di luar izin Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang juga di-bahasa-Indonesia-kan menjadi Perusahaan Hindia Timur Belanda.
Rempah, termasuk cengkeh, pala, sejak masa pendudukan Belanda di Indonesia begitu diburu dari wilayah seperti Maluku karena rasa hangat alaminya yang kemudian digunakan sebagai bermacam keperluan, seperti pada makanan, di pasar dunia, terutama Eropa.
Cerita perihal penjajahan di balik perdagangan rempah ini telah berlalu bersama waktu, tetapi tidak dengan afu, pohon cengkeh tua yang sejak empat ratus tahun lalu itu masih ada hingga kini di Ternate.
Afu berdiri di perkebunan cengkeh dan pala tua yang sudah ada sejak empat ratus tahun lalu.
"Di sini bahkan masih ada keturunan ke-13 pengelola perkebunan. Dia masih aktif menjadi petani perkebunan. Dulu kan kebun ini dikuasai Belanda (VOC), tahun 1606," ujar Aziz Momanda, warga asli Ternate yang memandu tim Terios 7 Wonders.
Kisah dari Ternate tersebut coba dirasakan langsung oleh tim dengan menuju sebuah desa bernama Marikurubu di sisi sebuah gunung yang masih aktif, Gamalama, dengan sebuah SUV standar Terios sebanyak tiga unit.
Afu sendiri bahkan masih berbuah hingga kini atau setelah hidup selama empat ratus tahun. Bahkan di dekatnya ada pula pohon yang lebih tua.
"Tadi petik pala, peserta juga coba. Memang tradisional banget.
Pohon tua ini sendiri diperkirakan berusia 300-400 tahun, dan dia masih aktif produksi. Ada yang paling tua, tetapi sudah mati. Itu tetapi masih ada," ujar Toni dari tim ekspedisi Terios 7 Wonders.
"Permadani" hitam Batu Angus
Sebelum perjalanan dimulai, tim Terios 7 Wonders sendiri mewakili PT Astra Daihatsu Motor (ADM) memberikan donasi perlengkapan sekolah bagi 110 siswa di Madrasah Ibtidaiyah Nuruddin Desa Marikurubu.
Pemberian donasi ini sendiri dihadiri oleh Y Shimizu, Domestic Marketing Division Head PT ADM dan Kroda Kalantara, Kepala Wilayah Indonesia Timur PT Astra International Tbk - Daihatsu Sales Operation (AI-DSO).
Perjalanan kemudian dimulai dengan seremoni angkat bendera menuju perkebunan pala dan cengkeh, kemudian menuju "permadani" hitam bernama Batu Angus yang luas dengan wujudnya menjorok dari gunung ke laut.
Letak "permadani" hitam ini sendiri berada di sisi lain Gamalama yang sejurus dari ujung ke ujung dengan Desa Marikurubu sehingga untuk menuju ke sana, tim dari Terios 7 Wonders bergerak menuju sisi lain gunung yang berdiri 721 meter di atas permukaan laut tersebut.
"Ternate sebenarnya sebagian besar gunung. Kontur tanjakannya tajam waktu ke sana," tambah Toni.
Namun, mesin DOHC VVT-i Terios merambat hingga tuntas menuju area Batu Angus. Perintah gelontoran tenaga diberikan sesuai bukaan katup atau valve sehingga memenuhi kebutuhan tarikan di sudut curam ini, dan sampailah tim tiga mobil ini di area hitam tersebut.
Tim kemudian "disambut" dengan hamparan hitam yang di tengahnya bertuliskan "wellcome to Batu Angus Kulaba Ternate".
Rasa penasaran pun muncul mengapa warna hitam begitu mendominasi wilayah ini.
Rupanya area tersebut merupakan sisa lahar letusan Gunung Gamalama pada abad ke-17.
Lahar yang telah berubah menjadi batu itu kemudian tampak seperti batu yang baru hangus terbakar.
Batu-batu hitam ini terdiri dari beragam ukuran, dari kerikil yang menghampar, hingga pecahan-pecahan runcing setinggi manusia.
Batu-batu hitam tersebut bahkan terserak pula di pantai hingga di dalam laut yang merupakan perairan lepas Laut Maluku.
"Tiga mobil masuk ke area Batu Angus, terbilang aman untuk dilewati mobil. Yang menariknya, dia langsung mengarah ke pinggir pantai. Ini kalau pas sunset, pasti keren banget," ujar Toni.
Pantai di uang Rp 1.000 dan klenik-klenik nelayan
Ternate menyimpan satu lagi obyek yang kerap dikunjungi oleh wisatawan yang posisinya masih bersilangan dengan kawasan Batu Angus, yakni Pantai Fitu.
Sekilas, pantai ini seperti obyek wisata pantai pada umumnya. Namun, ada yang unik jika diperhatikan lebih saksama.
Toni berujar, pantai ini sebenarnya biasa dilihat di pecahan uang kertas Rp 1.000. Namun, sayangnya pantai kurang terawat.
"Pantainya agak banyak sampah, sayangnya kurang terurus," ujarnya.
Rehat sekian jam, rupanya pada dini harinya, tim Terios 7 Wonders akan langsung bersiap menuju laut.
Mereka akan memancing dengan cara tradisional, yang menurut Toni, dengar-dengar, agak sedikit berbau klenik.
Seperti apa ceritanya? Kita tunggu kabar selanjutnya dari para peserta Terios 7 Wonders, Sabtu (15/7/2017).