Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Artip, Menagih Utang Negara...

Kompas.com - 10/09/2008, 06:38 WIB

LIMA PULUH tahun sudah seorang saudagar ikan asin dan kerbau menunggu uang yang dipinjamkannya kepada negara. Bahkan hingga meninggal tahun 2001 lalu, negara belum juga mengembalikan uang sang saudagar. Kini, anak-cucunya berjuang mengambil kembali hak sang saudagar lewat meja hijau.

Saudagar itu bernama Artip, asli Desa Guradog, Kecamatan Curug Bitung, Kabupaten Lebak, Banten. Tahun 1946 lalu, seorang mantri, sebutan untuk pegawai bank dan pemungut pajak pemerintahan Presiden Soekarno, datang ke rumah sang saudagar yang berada di lereng perbukitan Lebak.

Kala itu, negara sedang mengalami krisis keuangan. Maklum, baru satu tahun merdeka. Mantri itu datang untuk menyampaikan pesan pemerintah, meminta masyarakat yang memiliki uang berlebih untuk "menyimpan" uangnya pada negara. Besaran uang yang disimpan disesuaikan dengan kemampuan. 

Merasa wajib membantu negara, Artip pun menitipkan uangnya kepada Mantri. Tiga kali dia menyerahkan uang Rp 100, sehingga total uang yang disetor sebesar Rp 300. 

Bukti penyerahan uang diberikan dalam bentuk surat utang. Saudagar itupun menerima tiga lembar surat utang dengan nilai masing-masing Rp 100, dan dijanjikan akan memperoleh bunga 4 persen per tahun.

Artip menjadi satu-satunya warga Guradog yang meminjamkan uangnya kepada negara. Sebab, ia memang lahir dari keluarga terpandang, keluarga seorang demang, dan kebetulan ia juga lihai berbisnis.

Semasa hidupnya, Artip sudah berjualan hasil bumi, bahan kebutuhan pokok, bahkan hewan ternak seperti kerbau. Ia memiliki 10 tukang pikul yang siap berkeliling menjajakan ikan asin dagangannya. Tak jarang pula mereka diajak berjualan hasil bumi sampai ke Betawi dengan berjalan kaki.

Bahkan hingga akhir hayatnya Artip masih memasok kayu arang ke Jakarta. "Kenalan Bapak di Jakarta banyak, kebanyakan orang-orang China yang punya usaha. Terakhir sebelum meninggal, dia yang masok arang ke Jakarta," ujar Omo Sumarmo, anak keempat Artip yang kini melanjutkan bisnis jual-beli arang.

Artip juga sempat menjabat sebagai Jaro, sebutan warga Lebak untuk kepala desa. Sayangnya, sang anak tidak ingat lagi tahun berapa ayahnya menjadi kepala desa.

Menagih

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com