JAKARTA, KOMPAS.com - Kemacetan lalu lintas terjadi akibat banyaknya masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi.
Untuk mendorong orang beralih ke transportasi umum, ada wacana untuk menaikkan tarif parkir menjadi lebih tinggi.
Baca juga: Tarif Parkir Naik, Picu Parkir Liar Bermunculan
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PKS, Taufik Zoelkifli, mengatakan bahwa untuk membuat orang enggan menggunakan mobil pribadi, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menaikkan tarif parkir di gedung-gedung.
Kepala Pusat Data Informasi Perhubungan Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Susilo Dewanto, juga setuju dengan rencana tersebut.
Bahkan, ia menegaskan bahwa tidak perlu ditanyakan seberapa sanggup masyarakat untuk membayar tarif parkir yang lebih tinggi.
Baca juga: Tanggapan Asosiasi Parkir Soal Wacana Kenaikkan Tarif Parkir
Penerapan tarif parkir yang tinggi juga telah diterapkan di beberapa negara lain.
Tujuannya tidak hanya untuk mengurangi kemacetan, tetapi juga untuk menekan emisi gas buang dari kendaraan.
Gonggomtua Sitanggang, Direktur Asia Tenggara Institute for Transportation & Development Policy (ITDP), mengungkapkan bahwa kota-kota di Asia telah menerapkan kebijakan tarif parkir tinggi sebagai langkah untuk membatasi penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
"Shenzhen, Tiongkok, menerapkan tarif parkir lebih tinggi berdasarkan zona, dengan tarif tertinggi mencapai 223 RMB (Rp 510.000) sepanjang jam kerja," ujar Gonggom kepada Kompas.com, Senin (5/5/2025).
"Tarif ini lebih tinggi dibandingkan tarif parkir di Beijing yang hanya sebesar 115 RMB (Rp 263.000). Chennai, India, juga meningkatkan tarif parkir di badan jalan empat kali lipat dari tarif sebelumnya (Rs 5/jam menjadi Rs 20/jam)," tambah Gonggom.
Ia juga menambahkan bahwa selain menaikkan tarif, penggunaan parkir di badan jalan dibatasi maksimal delapan jam di Chennai.
Usulan untuk menaikkan tarif parkir ini juga ditanggapi oleh Rio Octaviano, Ketua Indonesia Parking Association (IPA).
Menurutnya, dalam membuat kebijakan, tidak bisa hanya mengacu pada negara luar.
"Mungkin melihat atau membuat studi itu tidak bisa serta-merta mengambil dari negara luar, karena ITDP ini setahu saya berasal dari luar. Jika diikuti tanpa mempertimbangkan kondisi lokal dan berdiskusi dengan praktisi-praktisinya, maka hasilnya mungkin tidak akan efektif," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.