Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/09/2017, 10:22 WIB
Ghulam Muhammad Nayazri

Penulis

Jakarta, KompasOtomotif – Era digital yang semakin subur, membuat zaman media sosial makin membesar di kalangan masyarakat. Tanpa ada batasan komunikasi, bahkan aib yang sebelumnya hanya disaksikan segelintir penduduk dunia nyata, kali ini sudah bisa viral ke seluruh alam semesta.

Salah satu aib yang terus terbongkar adalah kebobrokan penguna kendaraan bermotor dan penegakkan hukumnya di jalanan. Fokusnya, terutama pada pengguna sepeda motor (biker), yang perilaku-perilakunya kerap viral, entah individu atau berjamaah.

Baru-baru ini saja, beredar video para pengguna sepeda motor yang terjebak di jalur khusus Transjakarta, kemudian bersama-sama mengangkat keluar motornya melalui pembatas jalur setinggi paha, di wilayah Daan Mogot, Jakarta Barat. Entah, apakan ini tolong-menolong dalam kebaikan atau keburukan?

Baca juga : Jangan Ditiru, "Gotong Royong" Angkat Motor dari Jalur Transjakarta

Jika sedari awal tak nekat melanggar aturan lalu lintas dengan masuk jalur Transjakarta, tentu tak akan pernah ada perilaku ini. Pada 2016 lalu, Dirlantas Polda Metro Jaya menegaskan kalau masuk jalur Transjakarta adalah pelanggaran lalu lintas, dan didenda Rp 500.000.

Ini merujuk kepada aturan Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) nomor 22 tahun 2009, pasal 287. Bahkan, di dalam pasal tersebut,  bukan hanya dikenakan denda tapi juga kurungan penjara dua bulan.

Kisah gotong-royong mengangkat motor tersebut mungkin masih lebih mending, dibanding kasus pengerusakan separator Transjakarta, Mei 2016, secara bersama-sama. Ini dilakukan lantaran mereka takut kena tilang. Menyedihkan dan sungguh radikal.

Baca juga : Hindari Razia, Para “Biker” Hancurkan Separator Jalur Transjakarta

Ingin tahu berapa harga yang harus ditebus dari dosa merusak kelengkapan jalan? Masih merujuk pada UULLAJ Nomor 22 Tahun 2009, khususnya pada pasal 274 dan 275, bisa didenda sampai Rp 50 juta, dengan kurungan satu atau dua tahun.

Foto utama halaman 1 The Jakarta Post edisi Selasa (43/5/2016) yang menggambarkan keberanian Alfini menghadang para pemotor yang memakan trotoar di dekat Stasiun Sudirman, Jakarta. Foto utama halaman 1 The Jakarta Post edisi Selasa (43/5/2016) yang menggambarkan keberanian Alfini menghadang para pemotor yang memakan trotoar di dekat Stasiun Sudirman, Jakarta.

Sebentar dulu, masih ada lagi aksi nekat lainnya dari para pengguna sepeda motor, seperti menggunakan jalur khusus pejalan kaki. Bukan mengada-ada, perilaku ini sempat viral bersamaan dengan sosok hebat yang terang-terangan menentangnya, yaitu Alfini. Kasus ini terjadi di daerah Jakarta Pusat, di mana Alfini kala itu memberanikan diri menghadang para pelanggar.

Baca juga : Alfini Hadang Pemotor di Trotoar dengan Gagah Berani

Tiga contoh kasus belum cukup? Oke kali ini mungkin masih belum begitu terlalu lama, Jumat (14/7/2017), aksi gerombolan biker, bukan komunitas, apalagi satu keluarga, tapi kompak melawan arah di Jalan Layang Non-Tol (JLNT) Kampung Melayu – Tanah Abang.

Mereka memutar arah lantaran tak terima jika harus ditilang petugas kepolisian, karena melanggar aturan dengan masuk jalur JLNT. Namun, jika masuk JLNT saja sudah salah, apalagi dengan memutar balik dan melawan arah, jadi dua kali dosanya.

Baca juga : Lagi, Motor Ramai-ramai Lawan Arah di JLNT

Sebelumnya Edo Rusyanto, koordinator Jaringan Aksi Keselamatan Jalan (Jarak Aman), menyebut kalau tindakan tersebut, seperti aksi stress tingkat tinggi para pengguna jalan. "Ini adalah gotong royong yang keliru. Kecenderungannya, kalau dilakukan bersama-sama, memang seperti tidak ada rasa takut, tapi ini sangat berbahaya hingga bisa mencelakakan pengendara lain," ujar Edo mengutip Otomania saat diwawancarai pada Rabu (18/5/2016) lalu.

Siapa Bertanggung Jawab?

Mungkin itu baru beberapa saja contoh kasus dan yang kebetulan terekam kamera. Sengaja pemilihan contoh adalah kasus yang dilakukan bersama-sama, meminimalisasi kesan “oknum” yang kerap selalu jadi kambing hitam, yang ujungnya pemakluman. Namun, jika dikerjakan bergerombol seperti itu, masih dimaklumi?

Sampai kapan perilaku-perilaku ini masih menghiasi jendela media sosial, dan jadi pemandangan ketika kita berkendara di jalan-jalan Ibu Kota? Lelahkah kita membaca beritanya dan menonton perilakunya?

Iya tentu saja, tak elok jika hanya menyorot dari sisi biker, tapi dari sisi pemerintah, petugas lalu lintas, produsen kendaraan dan lainnya, yang perlu mendapat cubitan juga soal ini. Mereka akan sulit untuk mengelak, atau bahkan cuci tangan akan kondisi ini. Seburuk inikan proses penertiban hukum dan pembentukan karakter pengguna sepeda motor di jalanan.

Kembali lagi ke pertanyaan besarnya, jadi siapa yang bertanggung jawab? Menarik mengulasnya pada bahasan berikutnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com