Kalaupun ada perempatan yang tertib rapi pada jam berangkat atau pulang kerja, jangan bangga dulu. Cek lagi! Di situ ada polisi galak dengan sepeda motor besarnya atau tidak?
Faktor kegalakan polisi ini penting. Bagi pelaju harian, bukan pemandangan mengherankan melihat sosok polisi kelelahan dan tak berdaya di tengah perempatan, saat semua kendaraan memaksakan diri maju ke depan, sampai mampat berjamaah sama-sama tak bisa bergerak lagi.
Nah, kalau kepatuhan masih mengandalkan level kegalakan polisi di situ, masa sih pendidikan kita sudah mengajarkan nilai-nilai dasar yang tepat bagi setiap warga negara Indonesia? Apa coba yang diajarkan kalau begitu? Hafalan dan kompetisi gelar?
Melebihi darurat narkoba
Layak, kalau praktisi pendidikan di Australia mengaku lebih mementingkan kemampuan siswanya antre daripada nilai tinggi di pelajaran matematika. Ya kalau belum nemu logikanya, datang saja ke Jakarta. Indonesia, mungkin bahkan.
Terlihat sepele, barangkali, urusan berlalu lintas ini. Namun, tak banyak orang sadar, jalanan Indonesia sudah jadi "tempat pembantaian" dari tahun ke tahun. Angka kematian dari lalu lintas Indonesia sudah melebihi data dari kasus narkoba!
Kantor berita Antara pada 6 Maret 2016 melansir, diperkirakan per hari ada 50 kematian karena narkoba, merujuk data dari Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso. Bila dikalikan 365 hari dalam setahun, kematian karena narkoba didapatkan angka 18.250 kejadian.
Bagaimana dengan data kecelakaan lalu lintas? Otomania-Kompas.com pernah menulis 4 fakta terkait hal ini. Pada 2015 saja, tulis Stanly Ravel di artikel tersebut, ada 26.495 orang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Nah!
Infografis lain yang juga dilansir Kompas.com pada 2015 seperti di bawah ini, memberi lebih banyak gambaran soal kecelakaan lalu lintas. Selain korban meninggal, ada lebih banyak lagi korban luka, yang total keduanya pada 2015 saja masih puluhan ribu orang.
Infografik Darurat Jalan Raya, Laporan
Mulai 2014, IPM untuk menakar kualitas pendidikan sepenuhnya tak lagi mengacu pada angka melek huruf, seperti pengukuran yang dilakukan sejak 1996 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Mulai 2010, sudah ada metode pengukuran baru, yaitu lama waktu sekolah.
Metode lama dan baru sempat bersamaan dipakai untuk data IPM pada kurun 2010-2013. Hasilnya, merujuk data BPS per akhir 2014, rata-rata lama sekolah penduduk berusia 25 tahun ke atas di Indonesia adalah 7,73 tahun atau pernah sekolah sampai setingkat kelas VII.
Adapun anak-anak usia 7 tahun yang masuk sekolah, merujuk data yang sama, punya harapan sekolah selama 12,39 tahun atau mencapai Diploma I. Selama 2010-2014, rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah terus meningkat, berturut-turut tumbuh 0,92 persen per tahun dan 2,44 persen per tahun.
(Buat ngecek: Indeks Pembangunan Manusia 2014-Metode Baru)
Pertanyaannya, apa artinya berlama-lama sekolah, apalagi sampai punya sederet gelar akademis, kalau untuk hal-hal keseharian seperti tertib berlalu lintas saja masih jauh panggang dari api?
Karena data bicara angka “rata-rata”, artinya ada saja yang lulus doktor dengan sebagian yang lain cuma lulus sekolah dasar. Jangan lupa, setiap ada pendaftaran kuliah, pelamarnya bejibun juga.
Lagi-lagi, pertanyaannya tak berubah, seberapa besar pengaruh data bangku sekolahan ini buat kehidupan sehari-hari?
Coba direnung-renungkan saat terjebak di persimpangan jalan yang mampat dari segala arah....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.