Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Succes Story Santosa CEO Asuransi Astra

Rumus Sukses dari CEO Asuransi Astra

Kompas.com - 25/01/2016, 08:05 WIB
Febri Ardani Saragih

Penulis


Kehidupan ini sangat indah. Tak semua perjalanan hidup manusia berjalan dengan mulus. Tentu banyak rintangan dan hambatan dalam meraihnya. Kuncinya adalah kesabaran, keteguhan hati, memiliki prinsip yang kuat, jujur, apa adanya, dan selalu melakukan inovasi. Di balik kesuksesan seseorang, ada kisah-kisah mengharukan dan menyedihkan. Semua itu adalah proses yang harus dilalui. Mulai hari ini, Kompas.com menurunkan serial artikel "Success Story" tentang perjalanan tokoh yang inspiratif. Semoga pembaca bisa memetik makna di balik kisah.

Jakarta, KompasOtomotif – Jika sukses adalah karunia, maka proses memperolehnya merupakan usaha pembentukan diri sampai layak mendapatkan. Di setiap kisah sukses seseorang pasti ada jalan cerita yang bisa jadi bahan pelajaran, menginspirasi, atau setidaknya mampu menggerakan hati orang lain mengejar sukses.

Melalu cerita Santosa, Sarjana Fisika lulusan Universitas Gajah Mada pada 1989 yang kini menjabat CEO PT Asuransi Astra Buana (AAB) sejak April 2014, definisi sukses asalnya bukan kata orang tapi kembali ke diri sendiri.

Santosa sudah dua kali ditugaskan mengawal perusahaan yang dikenal dengan cabang bisnis asuransi kendaraan bermotor, Garda Oto. Sebelumnya ia pernah memegang peran sebagai Chief Financial Officer AAB, periode Mei 2005 hingga Mei 2007.

“Saya bilang sukses atau keberhasilan itu relatif, apa yang dikejar seseorang? Tapi kalau buat saya yang paling penting adalah tiga hal, pertama kemauan, kita maunya apa dulu, kalau kita sudah tahu maunya apa maka yang kedua adalah kemampuan untuk mencapai kemauan. Ketiga itu kesempatan,” kata Santosa saat berbincang dengan KompasOtomotif, Kamis (10/12/2015).

Ketiga hal itu harus bertemu di satu titik, lanjut Santosa. Bila salah satunya absen maka tidak akan berhasil.

“Maunya jadi apa dulu? Kalau misalnya mau jadi pengusaha tapi kerja di Astra ya tidak mungkin karena pasti jadi karyawan. Kalau mau jadi professional di Astra pasti punya kesempatan, tinggal maunya jadi profesional seperti apa,” ujar Santosa.  

Gonta-ganti perusahaan

Sepanjang 27 tahun karir prosfesionalnya, Santosa habiskan mengabdi pada grup Astra International. Ia sudah “kenyang” menerima tantangan, tercatat sudah 13 kali ia keluar masuk pintu beberapa anak perusahaan Astra International.

Lulus  kuliah dengan modal S1 ilmu dan teori Fisika, karir Santosa di Astra International dimulai pada 1989 sebagai “tukang komputer” atau jabatan resminya Software Instructor di PT Astra Graphia (1989 – 1991). Tugasnya membantu konsumen yang mengalami kesulitan mengoperasikan komputer, pada era itu komputer jadi barang teknologi tinggi yang tidak bisa dimengerti semua orang.

“Sebenarnya kan nggak jauh, orang fisika diajarkan komputer kemudian belajar jenis komputer. Kalau ngajarin orang bisalah, kalau fisika kan biasa ngajar juga,” ujar Santosa yang kemudian diangkat menjadi Technology Marketing Specialist diperusahaan yang sama (1991 – 1993).

Santosa beralih sebagai Consulting Resource di PT Digital Astra Nusantara (1993 – 1995). Perusahaan ini hasil kolaborasi Astra Graphia dengan produsen komputer kedua terbesar di dunia saat itu, Digital Equipment Corporation.

“Kenapa saya bisa pindah ke sana? Ya karena ada kesempatan. Astra buka divisi infrastruktur dengan fokus telekomunikasi. Komputer dengan telekomunikasi kan dekat, karena saya spesialisasinya network jadi dengan komunikasi kan dekat. Tapi tetap mesti belajar karena bagaimanapun beda, kalau tidak beradaptasi ya tidak mungkin jalan,” katanya.

Berlanjut, ia dipercaya sebagai Business Development Manager di PT Astratel Nusantara (1995 – 1996). Anak perusahaan Astra International ini fokus pada pengelolaan infrastruktur.

Mulai tahu banyak soal bisnis telekomunikasi, Santosa kembali dipindahtugaskan sebagai Head of Corporate Support & Planning di PT Pramindo Ikat Nusantara (1996 – 1999). Perusahaan ini fokus pada penyelenggaraan kerja sama operasional dengan PT Telkom Indonesia, namun sempat terkendala karena krisis dalam negeri pada 1998.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com