Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Success Story Presdir PT Federal Karyatama Patrick Adhiatmadja

Berawal dari Salah Jurusan, Patrick Kini Jadi Bos Produsen Oli

Kompas.com - 22/05/2015, 10:56 WIB
Agung Kurniawan

Penulis


Kehidupan ini sangat indah. Tak semua perjalanan hidup manusia berjalan dengan mulus. Tentu banyak rintangan dan hambatan dalam meraihnya. Kuncinya adalah kesabaran, keteguhan hati, memiliki prinsip yang kuat, jujur, apa adanya, dan selalu melakukan inovasi. Di balik kesuksesan seseorang, ada kisah-kisah mengharukan dan menyedihkan. Semua itu adalah proses yang harus dilalui. Kompas.com meneruskan serial artikel "Success Story" tentang perjalanan tokoh yang inspiratif. Semoga pembaca bisa memetik makna di balik kisah.

Jakarta, KompasOtomotif — Sedikit perusahaan asli Indonesia yang berhasil bertahan melawan kerasnya kompetisi persaingan pasar. Apalagi hegemoni pasar bebas makin memicu serbuan berbagai produk asing untuk terus masuk ke Tanah Air, seraya memaksa putra-putri terbaik Indonesia wajib menunjukkan kemampuan terbaiknya.

Adalah Patrick Adhiatmadja, pria berdarah Jawa Tengah, kelahiran Semarang pada 1964, yang berhasil menjawab tantangan ini dalam memimpin PT Federal Karyatama (Federal Oil), perusahaan pelumas otomotif lokal. Menjabat Presiden Direktur, setiap langkah, strategi, keputusan, dan penyelesaian masalah yang diambil Patrick adalah hal vital demi kemajuan perusahaan.

Lantas bagaimana alumnus Universitas Katolik Parahyangan Jurusan Arsitektur ini mencapai jabatan puncak tertinggi di perusahaannya?

KompasOtomotif menemui Patrick di kantor pusat Federal Oil, Kawasan Industri, Pulogadung, Jakarta Timur, Rabu (20/5/2015). Ketika sampai, kami langsung diajak ke lantai tiga, bangunan utama di kompleks pabrik pengemasan pelumas itu. Sambil menyeruput kopi hitam, pria yang ramah senyum ini menyambut kedatangan kami.

"Saya memang suka kopi, tapi pahit. Dulunya minum kopi harus pakai gula, tapi setelah kelamaan jadi suka yang pahit. Tapi, memang seperti ini seharusnya minum kopi, pahit. Kita jadi bisa mengetahui taste jenis kopi yang ada," celoteh Patrick, sambil menyuguhkan kartu namanya.

Jurusan IPA

Meski dilahirkan di Semarang, Patrick tumbuh dan besar di Jakarta. Ibunya berasal dari Semarang, sedangkan sang ayah merupakan putra Demak, Jawa Tengah. Memulai cerita perjalanan kariernya, Patrick remaja mengaku belum mempunyai tujuan hidup pasti menggapai masa depan.

"Saya dulu SMA di Pangudi Luhur, lulus 1983 mengambil jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), tapi tidak suka dengan pelajaran eksakta. Waktu lulus dan beranjak kuliah, saya masih belum tahu mau jadi apa. Tapi, karena lulusan IPA, pemikiran masih agak chauvinist, dari semula teknik, tapi berpikir jurusan yang agak ada seninya, juga mahasiswinya cantik-cantik, akhirnya pilih arsitektur. Waktu itu dasar pemikirannya masih sangat dangkal," kenang Patrick.

Langkah pendidikannya kemudian berlanjut di bangku kuliah, menjadi mahasiswa di Universitas Katolik Parahyangan Jurusan Teknik Arsitektur. Setelah menjalani kuliah di Bandung, Jawa Barat, selama enam semester, langkah Patrick terasa berat pada jurusannya itu. Ia merasa tidak bisa menikmati kuliah arsitektur yang dijalaninya.

"Saya merasa ini bukan dunia saya, talenta saya bukan di sini. Sampai saya berdiskusi dengan ayah yang juga berprofesi dosen, masih mengajar di Universitas Tarumanegara sampai sekarang. Ayah bilang, toh keputusan itu Anda yang ambil, Anda yang menjalankan, jadi selesaikan!" cerita Patrick.

Dengan langkah yang berat dan konsekuensi yang harus dipikul, Patrick membuktikan tanggung jawabnya. Motivasi utamanya adalah dengan lulus secepat mungkin, melalui berbagai macam rintangan dan hambatan. Akhirnya, ia tetap melanjutkan pendidikannya di jurusan yang sama sampai lulus pada 1988.

Minat pemasaran

Patrick mengatakan, minat meneruskan karier di dunia arsitektur semakin surut setelah dirinya mulai menyentuh ilmu ekonomi, khususnya penjualan dan pemasaran. Pengaruh ini diperolehnya dari sesama teman kos yang didominasi oleh mahasiswa jurusan ekonomi.

"Kami dulu sesama alumni PL (Pangudi Luhur) tinggal di kos yang sama, dari seluruh penghuni kos, ternyata 80 persennya anak ekonomi. Ketika malam, saya merasa nyaman dan asyik mendengar mereka saling berdiskusi soal makroekonomi dan sebagainya. Saya kemudian juga pinjam salah satu buku, sampai akhirnya benar-benar tertarik di dunia ini," beber Patrick.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com