Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
"Success Story" Suparno Djasmin, Wakil Presiden Direktur TAM [1]

Intuisi Bisnis, Hoki, hingga Diancam Preman

Kompas.com - 22/12/2014, 14:56 WIB
Agung Kurniawan

Penulis

Kehidupan ini sangat indah. Tak semua perjalanan hidup manusia berjalan dengan mulus. Tentu banyak rintangan dan hambatan dalam meraihnya. Kuncinya adalah kesabaran, keteguhan hati, memiliki prinsip yang kuat, jujur, apa adanya, dan selalu melakukan inovasi. Di balik kesuksesan seseorang, ada kisah-kisah mengharukan dan menyedihkan. Semua itu adalah proses yang harus dilalui. Kompas.com terus menurunkan serial artikel "Success Story" tentang perjalanan tokoh yang inspiratif. Semoga pembaca bisa memetik makna di balik kisahnya.

KompasOtomotif - Hidup menjadi petinggi diperusahaan otomotif terbesar di Indonesia, tak pernah dibayangkan Suparno Djasmin sebelumnya. Meski sudah menjabat di pucuk komando perusahaan, Abong, begitu ia akrab disapa, masih mengaku jauh dari kata sukses.

"Saya belum sukses-sukses seperti apa, masih banyak anak muda yang sudah menjadi CEO, kalau saya mungkin lebih tepatnya hoki," celoteh Abong kepada KompasOtomotif dalam perbincangan santai di kantor pusat PT Toyota Astra Motor (TAM), Sunter, Jakarta Utara, belum lama ini.

Abong kecil lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, 7 Juli 1961. Ia merupakan anak kedua, putra pertama dari tujuh bersaudara. Ayahnya pedagang kelontong, menjual berbagai kebutuhan sembako bagi warga sekitar. Selepas masa 1965, Kota Singkawang diselimuti awan kelam, situasi di sana menjadi sepi, banyak warga yang memilih untuk hijrah ke luar kota.

Sang ayah juga memutuskan untuk pindah ke Jakarta, karena berdagang tidak menguntungkan lagi di Singkawang. Keputusan itu diambil ketika Abong masih duduk di kelas dua SD, sehingga ia dan kakak perempuannya diminta tinggal dulu di Singkawang, sedangkan ayah pindah bersama ibu dan adik-adiknya lebih dulu ke Jakarta.

Selang dua tahun hidup bersama sang kakak perempuan, Abong kemudian menyusul ke Jakarta di antar bibinya. "Dulu itu ke Jakarta naik kapal kayu, pesawat terbang masih jarang dan mahal, jadi tidak terjangkau. Perjalanan yang ditempuh itu kalau tidak salah tiga atau empat malam di laut, sampai di Pelabuhan Sunda Kelapa," kenang Abong.

Untuk mengingatkan memori di masa lalu, Abong mengaku pernah bersepeda dengan sang adik, belum lama ini untuk mengunjungi Pelabuhan Sunda Kelapa. Di sana, ia mengenang masa-masa pertama kali menginjakkan kaki untuk pertama kali di Ibu Kota. "Dulu mungkin karena saya masih anak-anak, semua terlihat besar, kapalnya, pelabuhannya, jalannya. Tapi, waktu kita lihat sekarang kecil ternyata, tetapi masih terlihat kapal-kapalnya seperti apa, banyak kapal yang mengangkut sembako dari mana-mana, termasuk kalimantan," cerita Abong.

Anak laki-laki

Di Jakarta, Abong mengaku hidup dalam keluarga yang tidak lebih dari cukup. Ayahnya harus berkerja keras menghidupi ketujuh anak-anaknya yang ditanggung. Sejak duduk di kelas 1 SD, Abong membiasakan diri untuk membantu orang tua jualan di toko, sejak siang, selepas sekolah sampai malam, waktu tutup toko. Rutinitas ini juga ia lanjutkan ketika mulai masuk ke Jakarta. Toko sang ayah berada di Jalan Biak, Roxy, Jakarta Utara.

Namanya anak kecil, Abong juga kerap dimarahi sang ayah jika tidak fokus membantu kedua orang tuanya. Hiburan yang menjadi andalannya ketika jenuh menjaga toko, adalah serial cerita silat Kho Ping Ho.

"Saya selalu dianggap dewasa, karena anak laki-laki pertama di keluarga. Kakak saya perempuan, adik-adik saya juga semuanya wanita, baru adik ketujuh laki-laki lagi, sehingga saya lebih banyak menghabiskan waktu di toko bersama orang tua," jelas Abong.

Berkat kebiasaan ini, tak sadar bakat berdagang Abong sudah dimulai. Beranjak remaja, Abong semakin akrab dengan lingkungan sekitar, bersosialisasi dengan pedagang lain di sekitar toko ayahnya. "Jadi dulu kalau ada pengunjung lewat bersama anak kecil, mainan mobil-mobilan yang dijual ayah kita nyalain. Supaya kalau anaknya nangis, bapaknya mau membelikan," kelakar Abong.

Pernah di satu ketika, ketika sudah duduk di bangku SMA, ketika lagi menjaga toko, datang preman yang berkuasa di lokasi, minta jatah iuran dari para pedagang. Merasa sudah bertubuh besar, Abong sempat menunjukkan rasa tidak sukanya dengan kegiatan itu. "Saya ikut melotot-melotot waktu itu, akhirnya saya malah diuber-uber preman, diancam mau ditusuk waktu itu," seloroh Abong.

Adaptasi

Ketika pertama kali menetap di Jakarta, Abong merasakan hal paling berat dalam hidup adalah ketika ia harus beradaptasi dengan kondisi sekitar. Di Singkawang, mayoritas warga merupakan orang keturunan Tionghoa, sehingga menggunakan bahasa dialek sehari-hari, yakni Haka. Haka juga digunakan para guru yang mengajar di Singkawang, sehingga seluruh murid, termasuk Abong terbiasa menggunakan Haka.

Masuk ke Ibu Kota, semua sekolah dan mata pelajaran yang dijelaskan menggunakan Bahasa Indonesia. Berkat perbedaan ini, Abong mengaku harus belajar dua sampai tiga bulan untuk beradaptasi, termasuk bagaimana cara membaca Bahasa Indonesia yang benar. "Dulu saya nggak tahu, misalnya lagi belajar berhitung kalau ditanya jumlahnya, saya tidak mengerti. Tapi, lama-lama tahu kalau bilang jumlahnya, berarti ditambah-tambahin semua," kenang Abong.

Ketika duduk di bangku SMP, sebagai anak laki-laki paling tua di keluarganya, keinginan utamanya adalah cepat bekerja. Ia sempat berfikir untuk masuk STM supaya mendapat ketrampilan dan cepat bekerja, tetapi di dalam benaknya, ia juga punya keinginan untuk kuliah, menjadi sarjana.

Dulu untuk bisa kuliah di perguruan tinggi negeri, setiap siswa wajib mengikuti ujian Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), tetapi Abong merasa tahapan itu sama seperti lotere, kecil kemungkinannya bisa lolos. Tapi, ada alternatif lain, yakni melalui ujian PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) untuk diterima langsung di Institut Pertanian Bogor (IPB), yakni lolos ke perguruan tinggi negeri tanpa seleksi.

Mendengar ada alternatif ini, Abong kemudian meminta orang tuanya untuk pindah dari sekolah swasta masuk ke SMA Negeri 2, Olimo, Kota, Jakarta. SMA ini dipilih karena banyak siswa yang belajar di sana, kerap lolos di ujian PMDK.

"Dulu banyak teman-teman saya itu orang Batak, tapi sekolah itu memang bagus. Lulusan siswanya banyak yang lolos Sipenmaru dan PMDK. Saya sengaja pilih PMDK karena mau yang pasti-pasti saja, karena kalau kuliah di swasta, orang tua tidak akan sanggup," tukas Abong.

Minat Abong sebenarnya ada pada jurusan Teknik Elektronika, dipicu oleh salah satu gurunya ketika duduk di bangku SMA. Dalam ingatannya, ada salah satu guru honorer, mahasiswa Trisakti mengajar elektronika. Guru ini menjadi banyak favorit siswa karena cara mengajarnya yang apik, menggelar berbagai praktikum menarik minat siswa, sehingga Abong sangat menyukai elektronika.

Dengan teguh kuat mengikuti PMDK, Abong sadar harus sekolah dengan baik sehingga bisa lolos langkah yang ia pilih. "Kalau saja di IPB (Institut Pertanian Bogor) ada jurusan elektronika, pasti saya langsung ambil. Tapi, saya akhirnya pilih jurusan Teknologi Pertanian. Semua melalui proses seleksi, jadi berjuang juga, jadi apa yang saya terima sekarang itu, blessing lah. Hoki, hoki, hoki," kata Abong.

Lantas bagaimana kisah Suparno Djasmin di dunia kerja setelah berhasil masuk IPB dan menyelesaikan kuliahnya? Ikuti kisah perjalanan hidup tokoh yang dibesarkan di Jalan Kebahagiaan, Krukut, Taman Sari, Jakarta Barat? Ikuti kisah selanjutnya...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com