Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
"Success Story" Suparno Djasmin, Wakil Presiden Direktur TAM [1]

Intuisi Bisnis, Hoki, hingga Diancam Preman

Kompas.com - 22/12/2014, 14:56 WIB
Agung Kurniawan

Penulis

Masuk ke Ibu Kota, semua sekolah dan mata pelajaran yang dijelaskan menggunakan Bahasa Indonesia. Berkat perbedaan ini, Abong mengaku harus belajar dua sampai tiga bulan untuk beradaptasi, termasuk bagaimana cara membaca Bahasa Indonesia yang benar. "Dulu saya nggak tahu, misalnya lagi belajar berhitung kalau ditanya jumlahnya, saya tidak mengerti. Tapi, lama-lama tahu kalau bilang jumlahnya, berarti ditambah-tambahin semua," kenang Abong.

Ketika duduk di bangku SMP, sebagai anak laki-laki paling tua di keluarganya, keinginan utamanya adalah cepat bekerja. Ia sempat berfikir untuk masuk STM supaya mendapat ketrampilan dan cepat bekerja, tetapi di dalam benaknya, ia juga punya keinginan untuk kuliah, menjadi sarjana.

Dulu untuk bisa kuliah di perguruan tinggi negeri, setiap siswa wajib mengikuti ujian Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), tetapi Abong merasa tahapan itu sama seperti lotere, kecil kemungkinannya bisa lolos. Tapi, ada alternatif lain, yakni melalui ujian PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) untuk diterima langsung di Institut Pertanian Bogor (IPB), yakni lolos ke perguruan tinggi negeri tanpa seleksi.

Mendengar ada alternatif ini, Abong kemudian meminta orang tuanya untuk pindah dari sekolah swasta masuk ke SMA Negeri 2, Olimo, Kota, Jakarta. SMA ini dipilih karena banyak siswa yang belajar di sana, kerap lolos di ujian PMDK.

"Dulu banyak teman-teman saya itu orang Batak, tapi sekolah itu memang bagus. Lulusan siswanya banyak yang lolos Sipenmaru dan PMDK. Saya sengaja pilih PMDK karena mau yang pasti-pasti saja, karena kalau kuliah di swasta, orang tua tidak akan sanggup," tukas Abong.

Minat Abong sebenarnya ada pada jurusan Teknik Elektronika, dipicu oleh salah satu gurunya ketika duduk di bangku SMA. Dalam ingatannya, ada salah satu guru honorer, mahasiswa Trisakti mengajar elektronika. Guru ini menjadi banyak favorit siswa karena cara mengajarnya yang apik, menggelar berbagai praktikum menarik minat siswa, sehingga Abong sangat menyukai elektronika.

Dengan teguh kuat mengikuti PMDK, Abong sadar harus sekolah dengan baik sehingga bisa lolos langkah yang ia pilih. "Kalau saja di IPB (Institut Pertanian Bogor) ada jurusan elektronika, pasti saya langsung ambil. Tapi, saya akhirnya pilih jurusan Teknologi Pertanian. Semua melalui proses seleksi, jadi berjuang juga, jadi apa yang saya terima sekarang itu, blessing lah. Hoki, hoki, hoki," kata Abong.

Lantas bagaimana kisah Suparno Djasmin di dunia kerja setelah berhasil masuk IPB dan menyelesaikan kuliahnya? Ikuti kisah perjalanan hidup tokoh yang dibesarkan di Jalan Kebahagiaan, Krukut, Taman Sari, Jakarta Barat? Ikuti kisah selanjutnya...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com