Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kendaraan BBG di Indonesia Sulit Berkembang

Kompas.com - 28/02/2011, 05:44 WIB

ANYER, KOMPAS.com - Harga minyak dunia yang terus bergerak naik membuat bahan bakar gas (BBG) bisa menjadi primadona sebagai energi alternatif lantaran harganya murah. Di negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat dan Eropa, BBG menjadi bahan bakar pendamping, selain bensin dan solar. Sedang di Indonesia yang penerapan sudah dilakukan sejak dua dekade lalu, hingga kini tidak jalan-jalan.

Akar permasalahannya, bukan cuma minimnya infrastruktur atau terbatasnya jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) tapi karena minimnya alokasi gas ke sektor bahan bakar otomotif. PT Perusahaan Gas Negara (PGN), distributor utama gas di Indonesia mengaku Indonesia masih kekurangan pasokan karena minimnya alokasi dari produsen.

Hendi Kusnadi, General Manager Strategic Business unit I-meliputi Cirebon sampai Palembang-PT Perusahaan Gas Negara (PGN) menjelaskan, total volume gas yang sudah disalurkan sampai kuartal tiga 2010 mencapai 575,7 miliar british termal unit (bbtu) dengan pelanggan total 56.678 perusahaan, termasuk sektor kelistrikan, pendingin, baja kertas, keramik dan pasar ritel (SPBG).

"Pasokan SPBG cuma 0,5 persen, tahun lalu cuma 3,7 juta standar kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/mmscfd) dan tak ada alokasi tambahan, karena memang pasokannya hanya segitu. Padahal di sektor lain kita (Indonesia) memang lagi defisit (kurang pasokan)," jelas Hendi di sela diskusi Family Gathering Forwin-Kementerian Perindustrian di Anyer, akhir pekan.

Pasokan gas terbesar dialokasikan untuk sektor industri sampai 97 persen. Jadi, walaupun jaringan SPBG ditambah, belum tentu bisa beroperasi dengan baik karena tak ada kepastian pasokan gas.

Jongkie D Sugiarto, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pernah mengatakan, perkembangan kendaraan berbasis BBG masih minim di Indonesia. Pasokan gas dan ketersediaan infrastruktur menjadi masalah tak kunjung selesai. Kalau teknologi, jelasnya, hampir semua prinsipal di dunia sudah menerapkannya.

"Ini ibarat telur dan ayam, kalau tak ada yang mau memulai maka diam di tempat," jelas Jongkie.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com