KOMPAS.com – Macet! Sebenarnya mau mengeluhkan macet di Jakarta rasanya aneh sendiri. Setiap hari terjadi dan dialami!
Ini bukan menyoal macet di pintu tol di kawasan Tangerang yang jadi trending keluhan terbaru sepekan terakhir ya.
(Baca: Pemerintah Minta Maaf Integrasi Tol Jakarta-Merak Bikin Macet)
Belum mau nyinyirin juga soal jumlah kendaraan yang terus bertambah dengan kecepatan melampaui pertumbuhan luas penampang jalan. Tidak juga membahas faktor tambahan seperti proyek pembangunan di bagian mana Jakarta.
Cukuplah membahas dulu kemacetan di rute harian dan lokasi “macet abadi”. Perempatan Mampang-Kuningan, misalnya. Atau, persilangan jalan raya sebidang yang melintasi rel kereta api.
“Gila saja, dari Duren Tiga sampai Mampang itu bisa setengah jam sudah bagus. Itu naik sepeda motor ya,” keluh Sam, salah satu warga Mampang setiap kali membahas kemacetan jalanan.
Keluhan serupa juga datang dari Ari, pekerja di kawasan Palmerah yang tinggal di daerah Duren Sawit.
“Berangkat siang, setengah jam sampai Jalan Asia Afrika. Dari situ ke Palmerah, bisa satu jam sendiri lewat jalan di belakang Gedung DPR. Kecuali kalau ikut melawan arus seperti banyak sepeda motor lain,” ujar dia bersungut-sungut.
Posisi macet parah, yang bahkan kendaraan dari semua arah tak bisa bergerak, rasanya memang sudah layak masuk daftar problem klasik Ibu Kota. Berasa mendengungkan utopia kalau berharap masalah ini segera hilang dari kenyataan Jakarta.
Sudah tahu mobil di depan belum akan melewati perempatan sampai lampu lalu lintas berubah lagi menjadi merah, tetap saja semua kendaraan di jalur yang lampunya sedang hijau memaksakan diri maju ke depan.
Bahkan, saat jelas-jelas posisinya maju sesenti lagi sudah akan membuat kendaraan dari arah lain tak akan bisa lewat saat lampu jalur lain berubah hijau, tetap juga maju. Bila perlu setengah sentimeter dari kendaraan di depannya.
Belum lagi sepeda motor. Sudah tahu tak ada tempat di belakang garis putih penanda berhenti di persimpangan, nekat saja maju. Ujung-ujungnya, kendaraan yang akan langsung berbelok ke kiri terhambat.
Semua saling serobot seperti lagi pada sakit perut dan harus buru-buru buang air besar ke toilet. Bunyi klakson meningkahi, tak henti berbunyi dari segala arah.
Maka, adegan perempatan rapat-pat antar-kendaraan dengan arah hadap yang berbeda jadi pemandangan rutin di lokasi-lokasi abadi kemacetan tersebut.
Paling konyol, kalau ada banyak kejadian seperti di perempatan Mampang menjelang tengah malam. Selepas perempatan “maut” macetnya itu, jalanan ke arah Ragunan kosong melompong. Tepok jidat!