Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gus Dur (Juga) Sahabat Perempuan

Kompas.com - 19/01/2010, 21:52 WIB

Oleh Nur Istibsaroh

Belum hilang rasa sedih dan kehilangan di hati bangsa Indonesia, walaupun sudah lebih dari dua pekan KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur berpulang menghadap Yang Maha Kuasa.

Sedih dan kehilangan muncul secara serta merta dalam sanubari bangsa terutama bila mengingat kiprah putra terbaik ini dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemajemukan di Indonesia.

Tidak ada yang bisa menyangkal atau bahkan sekadar mendebat bahwa Gus Dur yang pernah menjabat sebagai Presiden Republik ini, telah mewariskan begitu indahnya hidup rukun berdampingan antarumat beragama.

Salah satu kebijakan yang monumental yang akan diingat sepanjang masa, terutama oleh etnis Tionghoa, adalah ketika Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Sebelum terbitnya Keppres tersebut, jangankan berharap pengakuan terhadap hari besar etnis Tionghoa seperti Imlek, mementaskan tari barongsai saja tidak dimungkinkan. Haram sepertinya.

Tauladan Bangsa
Kepergian Gus Dur semakin mengukuhkan begitu berharganya seluruh karya pemikiran yang tidak akan turut serta ikut meninggalkan ’kita’ semua. Buah karya yang memberikan dampak luar biasa untuk penyelamatan sebuah etnis, kaum minoritas, dan bangsa Indonesia.

Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China adalah satu contoh nyata. Kebijakan Gur Dur tersebut, bagi umat Konghucu merupakan jasa yang tidak akan pernah dilupakan.

"Gus Dur yang telah melepaskan seluruh "binatang" yang selama ini terkungkung dan terpenjara. Naga dan singa, sekarang bisa bebas beratraksi dengan bebas," kata Guru Besar Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Kota Semarang, Teguh Chandra Irawan, mengambarkan diperkenankannya Barongsay tampil.

Teguh mengatakan, sebelum ada kebijakan tersebut, selama 32 tahun umatnya merasa menjadi dianaktirikan. "Ritual yang dilakukan setiap tahun di Klenteng dapat dilaksanakan kembali," katanya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com